Yongki Salmeno |
Oleh Yongki Salmeno
Meteran lampu di rumah kami terus mencicit nyaring seperti berpacu dengan suara jangkrik membelah keheninganmalam. Ini hari ke tiga ia menjerit berkepanjangan. Saya melirik angka yang tertulis di meteran tersebut, 0,38. Ini berarti tak lama lagi aliran listrik dari PLN ke rumah kami akan terhenti. Kami memang tak lagi mengisi ulang kuota token listrik tersebut karena memang tak punya uang untuk membelinya.
Saya juga sudah mencoba menghubungi PLN via WA yang
konon menyediakan token bersubsidi. Meski saat ini saya dalam sulit dan
terjepit, ternyata saya tidak termasuk daftar pelanggan 900 VA yang dapat
subsidi. Manurut pihak PLN hal ini sesuai dengan Data Terpadu Kesejahteraan
Sosial.
Sekitar jam 10 malam listrik di rumah kami padam,
gelap gulita seketika. “Untunglah”kami punya sumber listrik cadangan, yaitu
pembangkit listrik tenaga surya (solar cell). Saya segera menarik handel
pemindainya untuk pindah ke listrik tenaga surya.Solar cell ini adalah bantuan
dari BLPP (Balai Latihan Penyuluh Pertanian) Sumbar, karena lokasi kami sudah
resmi menjadi P4S (Pusat Pelatihan Pertanian Perdesaan Swadya). Di sini memang sering dilakukan pelatihan pertanian untuk
anggota Kelompok Tani.
Namun tentu saja listrik tenaga matahari ini punya
kelemahan. Dayanya hanya cukup untuk
menyalakan sekitar 4 buah bola lampu hemat energi (LED). Sedangkan peralatan
listrik dengan daya lebih besar seperti alat pemasak dan penghangat nasi,
televisi dan sejenisnya terpaksa diistirahatkan sementara.
Matinya televisi ini sempat membuat anak-anak kami
cemberut. Pasalnya dua pekan belakangan mereka dimanjakan oleh program televisi.
Dari pagi hingga malam selalu ada saja kanal televisi yang menyiarkan acara
anak-anak, baik berupa film kartun menarik seperti Shiva yang berasal dari
India, Masha dari Rusia atau Nussa yang berasal negri sendiri. Tentu ia akan
merasa sangat kecewa ketika tiba-tiba tak bisa lagi menonton acara favoritnya ini.
Memang ada alternatif lain agar tetap bisa menonton
berbagai acara televisi favorit anak-anak tersebut, yaitu melalui streaming
atau youtube. Namun nasib hp juga tak jauh beda dengan token listrik, sama-sama
di angka nol.
Namun yang saya rasakan disaat kami mengalami
kesulitan seperti itu, Allah menurunkan rahmatNya. Meski awalnya cemberut
karena tak bisa menonton acara
kesayangannya, tapi hanya berlangsung sesaat. Setelah dijelaskan masalahnya
mereka nampak paham dan melupakan semua tontonan itu. Kebersamaan dan keceriaan
kami membuat mereka melupakan televisi.
Berkebun, memasak, belajar bersama, belajar Iqro,menghafat surah-surah pendek membuat hari-hari mereka selalu terisi dengan kesibukan dan keceriaan. Sambil bermain mereka mengulang pelajaran yang diajarkan.
Sikap istri saya membuat saya makin bersyukur dan memuji kebesaran Allah. Tak sedikitpun ia mengeluh dengan keadaan kami saat ini, meski sebelumnya ia berasal dari keluarga yang berkecukupan, namun ia ikhlas menerima ujian yang kami hadapi saat ini. Rezki dari Allah terkadang memang tidak berupa uang dan harta. Berbagai kemudahan, ketenangan hati dan fikiran adalah rezki yang tak ternilai harganya.
Rezki terkadang juga bisa datang dari arah yang tak diduga-duga. Disaat kami berada di titik nadir dan nyaris putus asa, ada-ada saja kawan yang memberikan bantuan. Kamis lalu kami terperangah karena tak punya apa-apa lagi bahan untuk dimasak. Sorenya tiba-tiba ibu mertua menelpon, beliau minta dijemput karena kangen cucu dan ingin menginap di tempat kami.
Berita itu tentu membuat kami senang, tapi nanti dengan apa beliau akan kami jamu karena karena kami tidak punya apa-apa untuk dimasak. Ternyata beliau telah menyiapkan berbagai sayur-mayur dan bahan-bahan untuk dimasak untuk kami. Selain itu beliau juga membawa ayam goreng balado dan rendang. Yang ini adalah kiriman salah seorang saudara yang hari itu melakukan acara syukuran atas kelahiran cucunya. Subhanallah.
Bagi Allah sangat mudah memberi seseorang rezki yang
banyak dan berlimpah, namun sangat mudah pula bagi Beliau untuk mencabutnya
kembali. Mungkin hal itu pula yang terjadi pada saya. Dulu perjalanan karir
saya sangat mulus dan bekerja di tempat-tempat terbaik. Tahun 1989, saat
berusia 26 tahun, pernah diundang ke Istana Negara.
Tahun 1999 membuka usaha peternakan sapi di Solok dan tahun 2004 mendirikan pabrik pakan ikan (pelet) di tempat yang sama. Namun tahun 2010 hati saya mendua, dengan mengambil pekerjaan lagi di Padang dengan harapan kedua pekerjaan ini saling mendukung. Namun kenyataannya terbalik, keduanya malah berantakan.
Usaha peternakan sapi dan pakan ikan ternyata tidak bisa autopilot. Usaha tak jalan tanpa kehadiran kita di sana. Akhirnya usaha ini terus merugi, sapi yang sebelumnya sampai mencapai 50 ekor, makin lama makin menyusut. Sementara itu cicilan dan bunga bank terus menumpuk. Baru sadar akan dosa riba, hutang di bank saya tutup dengan menjual rumah saya dan rumah orang tua saya. Biarlah tak punya apa-apa asal terbebas dari hutang riba.
Sejak saat itu kami mulai dari nol kilometer lagi.
Memang sangat berat merintis karir atau usaha disaat umur hampir mendekat 60
tahun seperti saat ini. Namun saya yakin semua itu adalah cara Allah memanggil
untuk mendekat kepadaNya. Saya malah bersyukur Allah memberi peringatan dan
masih memberi kesempatan untuk memperbaiki diri. Insya Allah pelan-pelan saya
mulai memperbaiki dan memperbanyak ibadah. Merintis karir di dunia tidak
prioritas lagi, toh rezki, jodoh dan maut Allah yang mengatur.
Seperti token listrik tadi, bersiap-siaplah jika
sudah ada peringatan. Bila mata sudah kabur, gigi dah banyak gugur, uban sudah
subur, kulit mulai kendur, itu adalah tanda peringatan. Seperti pesan token, maka buatlah persiapan sebelum lampu padam. ***