×

Iklan


Heboh, Tagar #JanganJadiDosen, Gajinya Masih Dibawah UMR

28 Februari 2024 | 08:13:40 WIB Last Updated 2024-02-28T08:13:40+00:00
    Share
iklan
Heboh, Tagar #JanganJadiDosen, Gajinya Masih Dibawah UMR

Jakarta, Khazanah – Sejumlah dosen mengungkapkan gaji mereka yang masih di bawah Upah Minimum Regional (UMR) di media sosial, disertai dengan tagar #JanganJadiDosen. Pengamat pendidikan menyebut gaji dosen rendah dapat berdampak buruk pada kualitas pendidikan di perguruan tinggi.

Ikhwan, seorang dosen dari sebuah perguruan tinggi negeri satuan kerja, mengatakan bahwa ia dan beberapa dosen membagikan tangkapan layar slip gaji mereka pada platform media sosial X agar dapat menyadarkan publik pada kondisi pelik tersebut. Sebab, banyak rekannya akhirnya meninggalkan profesi dosen karena gaji kurang layak memaksa mereka untuk mengambil pekerjaan sampingan agar dapat memenuhi kebutuhan hidup.

“Bisa dibilang berat betul. Akhirnya saya harus invest dengan karier saya. Karena kalau karier harus lengkap, dosen tidak bisa hanya mengajar saja tanpa riset dan pengabdian. Itu juga tidak akan naik gajinya,“ ujar Ikhwan, Selasa (27/2/2024).

    Sejumlah dosen lain pun ikut membagikan slip gaji mereka dengan tagar #JanganJadiDosen yang sudah digunakan lebih dari 7.000 kali. Bahkan, seorang dosen dari universitas swasta hanya menerima Rp1,2 juta setelah potongan.

    Menurut hasil survei dari tim riset kesejahteraan dosen dari Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) yang melibatkan 1.200 dosen dari berbagai institusi, sebanyak 42,9% menerima gaji yang masih di bawah Rp3 juta per bulan. Padahal, sebagian besar menyatakan harus mengeluarkan biaya hidup per bulan sebesar Rp 3-10 juta. Bahkan, sekitar 12,2% memiliki pengeluaran bulanannya lebih dari Rp 10 juta.

    Koordinator KIKA, Satria Unggul Wicaksana, mengatakan bahwa masyarakat masih banyak yang memiliki persepsi bahwa dosen di Indonesia memiliki kondisi sosial-ekonomi yang cukup baik. Namun, realitanya masih banyak yang menerima pendapatan yang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup.

    “Ketika dosen gaji pokoknya berada di bawah UMR. Pasti dosen itu mencari proyek di luar dan lain sebagainya. [Sehingga], tidak fokus dalam mengajarkan mahasiswa. Dampak buruknya pada kualitas pendidikan tinggi kita sebetulnya,” ujar Satria.

    Semua berawal dari cuitan musisi Kunto Aji, yang bertugas sebagai anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), saat memamerkan honor yang ia terima setelah bertugas. Cuitan itu kemudian dibalas oleh seorang netizen yang mengajak warganet membagikan gaji pertama ketika menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).

    Melihat semakin banyak orang membagikan nominal gaji mereka, Ikhwan mengambil kesempatan itu untuk membuka ruang diskusi antara para dosen untuk memperlihatkan gaji mereka.

    “Saya juga ikutan tapi dari perspektif yang beda karena saya menambahkan informasi jangan jadi dosen. Dan akhirnya yang merespon ada dari yang belom tahu jadi tahu kemudian ada juga yang merasakan bahwa memang segitu gaji dosen,” kata Ikhwan.

    Ia mengatakan bahwa banyak mahasiswa yang meniti karier akademis mereka dengan menempuh pendidikan S2 dan S3 agar kelak menjadi dosen. Namun, tidak semua mengetahui “konsekuensi” dari menjadi dosen.

    “Untuk jadi dosen, ini perlu tahu dulu konsekuensinya seperti apa, terutama masalah finansial,” ujarnya.

    Ikhwan mengalaminya sendiri ketika persiapan untuk menempuh pendidikan jenjang S3 terhambat karena fokusnya terbagi antara memenuhi kewajiban jam mengajar SKS dan melakukan pekerjaan sampingan untuk menafkahi keluarganya.

    “Itu tunjangan anak itu buat popok saja tidak akan cukup, jadi otomatis dosen akan mengambil opsi mengabaikan salah satu tanggung jawabnya termasuk mendidik dirinya sendiri, dia akan berhenti belajar otomatis dia enggak akan S3,” tuturnya.

    Tak hanya Ikhwan, Ardianto Satriawan, seorang dosen Teknik Elektro dari Institut Teknologi Bandung yang sedang tugas belajar, pun ikut membagikan gaji yang ia terima selama lima tahun berstatus dosen.

    “Sebenarnya kalau di kalangan dosen kami sudah sama-sama tahu. Kalau diwawancara pertanyaan pertama adalah kenapa mau jadi dosen padahal begitulah kenyataannya,” kata Ikhwan.

    Meskipun ia mengaku masih cukup dengan gaji yang diberikan kampus. Tetapi, kebanyakan rekan-rekan lainnya yang bekerja sebagai dosen memiliki nasib yang berbeda.

    “Makanya sering diketahui ada dosen ambil proyek sana, proyek sini. Terus kuliah kosong, nanti kelas pengganti karena saya sedang sibuk. Itu salah satu penyebab utamanya, [karena] gajinya memang tidak mencukupi,” kata Ardianto.

    Mengapa gaji dosen masih banyak yang kurang layak? Menurut Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji, kebijakan yang berlaku bagi dosen dan tenaga pengajar masih belum berpihak pada kesejahteraan dosen.

    “Kebijakan pemerintah saat ini ke arah privatisasi pendidikan. Jadi baik di kampus negeri maupun swasta, beban pembiayaan itu dilimpahkan ke kampus. Akibatnya, kampus harus meminimalisir pengeluaran, termasuk untuk gaji-gaji dosennya,” ungkap Ubaid.

    Ia mangatakan bahwa kebanyakan dosen akhirnya harus mengambil pekerjaan sampingan dan proyek-proyek lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal seringkali menghambat kehadiran mereka bagi mahasiswa, baik sebagai pengajar maupun pembimbing riset.

    “Kesejahteraaan untuk dosen harus ditingkatkan dan juga harus berbasis pada kinerja dan kompetensinya. Jadi, jangan hanya fokus di kesejahteraan sementara performanya buruk. Jadi harus ada sistem yang mendorong keduanya bisa berjalan secara seirama,” katanya.

    Berdasarkan PP Nomor 15 Tahun 2019, seorang dosen PNS lulusan S2 yang baru memulai kariernya sebagai dosen (golongan IIIb) mendapatkan gaji pokok sebesar Rp2,6 juta. Mereka yang masih berstatus CPNS bahkan hanya bisa membawa pulang 80% gaji pokok tersebut. Baru setelah dua hingga tiga tahun, dosen biasanya mulai mendapatkan tunjangan. Berdasarkan Perpres Nomor 65 Tahun 2007, jumlahnya sebesar Rp 375.000 setelah mereka diangkat jadi Asisten Ahli.

    Koordinator KIKA, Satria Unggul Wicaksana, mengatakan harapan dosen untuk menaikan gaji adalah menerima kenaikan pangkat yang dapat mendongkrak tunjangan kinerja yang diterima. Namun, kenaikan pangkat bergantung pada pemenuhan Beban Kerja Dosen (BKD), seperti sertifikasi dosen (serdos), tuntuta riset dan lainnya, menjadi faktor utama gaji pokok dosen sangat kecil. “BKD sangat mempengaruhi perolehan tukin dan renumerasi dosen sebagai ambalan dari gaji pokok. Gaji pokoknya sangat kecil, tapi mereka berharap dari tunjangan kinerja, tunjangan prestasi dan itu sangat tergantung pada penilaian atasan,” kata Satria.