Jakarta, Khazanah – Asosiasi Serikat
Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) meminta pengusaha Indonesia tidak
berlebihan lantaran adanya gerakan boikot produk-produk yang terafiliasi dengan
Israel menjadikan alasan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) para pekerja /
buruh.
Presiden ASPEK Indonesia Murah Sumirat
menilai kekhawatiran pengusaha itu terkesan lebay. Sebab
menurutnya, PHK sepihak atau massal sudah banyak dilakukan sebelum adanya
gerakan boikot produk Israel.
"Akar penyebab maraknya PHK
massal di Indonesia bukan karena gerakan boikot Israel. Tapi terletak pada
pemerintah yang membuat regulasi yang semakin memudahkan PHK dengan menurunkan
nilai pesangon serta pengusaha yang semakin serakah ingin memperkaya korporasi
dengan menekan biaya kesejahteraan pekerja," serunya, di Jakarta, Minggu
(10/12/2023).
Menurutnya, kampanye tersebut
seharusnya bisa dimanfaatkan oleh pengusaha Indonesia, sebagai peluang untuk
lebih memajukan usaha-usaha lokal asli Indonesia.
"Jika sebelumnya orang membeli
ayam goreng dan kopi di perusahaan yang terafiliasi dengan Israel, saat ini
beralih lah ke ayam goreng dan kopi produk usaha kecil menengah asli
Indonesia," ungkap Mirah.
Mirah mengatakan, banyak pelanggaran
yang dilakukan perusahaan yang terafiliasi dengan Israel, semisal pemberian
upah minimum.
"Pengusaha janganlah cari-cari
kambing hitam, seolah-olah adanya gerakan boikot Israel ini menjadi alasan PHK
massal di Indonesia," tegas Mirah.
Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha
Pemasok Pasar Modern Indonesia (AP3MI) memproyeksikan aksi boikot produk yang
terafiliasi dengan Israel bisa membuat transaksi di pasar modern atau
retail tergerus hingga 50 persen.
Sekretaris Jenderal AP3MI Uswati Leman
Sudi, mengatakan, lantaran mayoritas produk yang di boikot tersebut
merupakan produk pareto, yaitu barang yang berkontribusi hingga 80 persen dari
produksi di pasar, tetapi kontribusi terhadap transaksinya sebesar 20 persen.
Seperti produk shampo, susu balita, makanan, hingga minuman ringan.
"Pengurangan penjualan produk
pareto baisanya dari isu yang kecil dan berkembang. Mungkin transaksi di pasar
hilir bisa berkurang sampai 50 persen dan target ekonomi pemerintah akan sulit
tercapai," kata Uswati di Jakarta, Rabu (15/11/2023).