Direktur RSUD M Zen Painan, dr. Hareva |
Painan, Khazminang.id -- Untuk menjadi Direktur di Rumah sakit tidak lah mudah semuanya harus memenuhi dan persyaratan yang cukup. Tapi bagi dr. Hareva yang saat ini sebagai Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) M. Zen Painan, Kabupaten Pesisir Selatan, syarat itu ditambah dengan dukungan masyarakat di daerah itu.
"Saya tidak mau diintevensi. Saya mau jadi Direktur karena dukungan masyarakat sini. Makanya saya mau di sini," kata dia kepada Khazanah dan khazminang.id, Selasa (2/11) di ruanganya. Ini merupakan wawancara perdana dengan pers sejak ia dilantik.
Hareva meminta pada pemerintah di daerah agar jangan jadikan rumah sakit tersebut sebagai tempat balas budi politik.
Kinerja manajemen adalah untuk menghasilkan laba dan memberikan pelayanan terbaik. Itu, kata dia, hanya bisa tercapai jika tidak ada tekanan politik dalam bentuk apa pun, baik dari sisi struktur, maupun kegiatan pembangunan lainnya.
"Itu merupakan beban paling besar dalam pengelolaan bisnis rumah sakit. Masa iya balas budi politik rumah sakit yang harus tanggung," terangnya.
Campur tangan itu, kata dia, tidak hanya memberikan beban moral bagi manajemen, tapi juga menjadi beban biaya bagi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) sebagai lembaga profit milik pemerintah daerah.
Misalnya, intervensi politik bisa dilihat dari pembengkakan jumlah tenaga medis dan karyawan penunjang lainnya di RSUD yang kini mencapai hampir 700 orang.
Sementara kemampuan yang dititipkan pun belum terukur. Padahal, kebutuhan rill hanya di kisaran 300-400 orang saja, sehingga beban biaya operasional dan kebutuhan gaji menjadi membengkak," kata dia.
Ahli dan konsultan jantung dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) itu menyebutkan bahwa RSUD M. Zen adalah salah satu rumah sakit yang memiliki potensi sangat besar untuk berkembamg. Ia memiliki pasar yang jelas seperti Kabupaten Muko-Muko, Bengkulu dan Kerinci, Jambi dan Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Persoalan keuangan yang terjadi saat ini seharusnya tidak terjadi di RSUD M. Zen, jika tidak ada campur tangan kepentingan politik di dalamnya. Pendapatan dari Badan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) cukup untuk membiayainya.
Belum lagi ditambah dengan pendapatan lainnya dari pasien umum. Selama ini neraca keuangan rumah sakit terkonfirmasi surplus, meski terjadi penurunan omset sejak dua tahun terakhir akibat Covid-19.
Akibatnya, jumlah pasien menjadi turun. Di lain sisi, piutang tertunggak di Kementerian Kesehatan pun menumpuk, sehingga memicu defisit keungan dan minimnya obat di lembaga pelayanan pelat merah itu.
"Sebenarnya yang paling penting itu adalah obat. Sehebat apa pun rumah sakit dan dokternya, tanpa obat semuanya akan jadi sia-sia saja,"ujarnya.(milhendra wandi)