NOVRIZAL SADEWA |
JIKA ingin tahu kualitas pemimpin, perhatikanlah jika suatu wilayah ditimpa wabah dan bencana dan anda akan melihat siapa mereka sesungguhnya, apakah mereka betul-betul pemimpin atau hanya sekedar pemimpi, dan saya percaya ungkapan ini benar!
Pada saat bencana jelas rakyat membutuhkan kehadiran pemimpin mereka, bukan hanya sekedar dalam bentuk fisik memberikan pelukan dan semangat saja, bukan pula sekedar dalam bentuk bantuan cepat yang hanya untuk selama musibah.
Selama ini banyak dalam berbagai musibah pemimpin selalu mendatangi rakyatnya tapi hanya sekedar mengobati luka seketika tanpa memberikan jalan bagaimana agar rakyat tidak kembali dapat musibah, bagaimana agar kembali rakyat tidak terluka, mereka lupa slogan sederhana mencegah lebih baik daripada mengobati.
Ada pemimpin yang datang dengan gaya sederhana, masuk ke sawah, difoto oleh tim media , ada pemimpin yang memangul karung beras difoto oleh media, ada pemimpin yang meledak-ledak amarahnya direkam oleh media, dan ada pemimpin yang asyik berceramah saja, dan semua tidakan tersebut menjadi senjata, serta menggambarkan seolah-olah merekalah pemimpin idaman, pemimpin yang dibutuhkan rakyat.
Hal itu persis yang dialami bangsa ini sekarang, wabah Coronavirus Disease (Covid-19) membukakan dan menunjukan kepada kita pemimpin seperti apa yang kita punya di republik ini, mulai dari tingkat presiden sampai ke bupati dan wali kota.
Wabah Covid-19 betul-betul menelanjangi dan memperlihat kepada kita seperti apa orang yang jadi pemimpin kita saat ini.
Hampir setahun wabah ini menyerang dan hampir semua elemen masyarakat tetap saja gagal paham tentang apa itu Covid-19 dan cara mengehentikannya serta menekan penyebarannya, akibatnya hampir seluruh sendi kehidupan, terutama perekonomian tak bergerak, negara hampir pasti resesi ekonomi, hutang membengkak, rakyat semakin terpuruk, krisis sosial juga mengancam.
Sejak wabah ini menyerang di awal tahun 2020, pemimpin kita rata-rata terjebak dalam kegagalan pemahaman tentang Covid-19 itu sendiri, akibat kegagalan pemahaman tersebut sampai ditingkat bawah dalam hal ini di tengah rakyat timbulah multi persepsi, dan akibatnya?
Ada tenaga kesehatan yang ditolak oleh lingkungannya, ada mayat yang terpaksa berpindah-pindah penguburannya karena ditolak warga.
Sampai saat ini, angka warga yang tertular Covid-19 semakin tidak terkendali karena para pemimpin rata-rata selalu terjebak dalam hal-hal yang seremoni, dan hal itu akhirnya yang membuat saya mengambil kesimpulan, tidak ada pemimpin kita yang peduli dengan rakyat dalam hal yang sesungguhnya, apalagi di tahun 2020 ini juga terkait dengan Pilkada serentak pada Desember nanti.
Mereka tetap saja terlibat pencitraan dengan sejumlah wacana yang tidak dapat dilaksanakan sampai ke titik masalahnya.
Di Sumatera Barat, pada awal wabah ini menyerang hampir semua kepala daerah belomba-lomba menyemprotkan disinfektan, akan tetapi jadi aneh saja, ketika disinfektan itu disemprotkan tidak pada tempat-tempat yang tidak seharusnya.
Jalan raya hampir setiap hari disemprot disinfektan, atap rumah juga, pagar-pagar juga, ini kan menunjukan kegagalan pemahaman terhadap Covid-19 itu sendiri, bagaimana, dimana virus itu hidup, dan bagimana pula mengatasinya.
Secara kelakar pernah saya sampaikan bahwa penyemprotan di jalan raya dan dan tempat-tempat yang tidak ada kaitannya itu, seharusnya membuat kita terhina karena kita rakyat ini tidak ada yang tinggal di jalan raya, atau di atas atap rumah, ataupun dibalik pagar.
Sementara di daerah setiap kepala daerah berlomba berteriak semua anggaran dialihkan untuk penanganan Covid-19, kemudian mereka membuat sejumlah kebijakan yang tidak terlalu substansial sehingga angka penderita tetap saja bertambah, sementara anggaran tersedot untuk semua.
Yang terakhir adalah kekonyolan terbaru Pemko Padang yang pada pekan lalu menyatakan akan melarang acara resepsi atau pesta perkawinan mulai tanggal 9 November nanti, menurut saya hal itu adalah kesalahan, kenapa harus menunggu sampai bulan November?
Artinya sampai sebelum November silahkan menggelar pesta atau resepsi, bukankah hal itu semakin membuka peluang jumlah korban membengkak karena pesta perkawinan sudah dinyatakan salah satu klaster penyebaran di sejumlah tempat.
Dalam konteks yang paling sederhana menurut saya semua juga tahu bahwa Covid-19 itu tidak ada obat atau vaksinnya terlebih lagi karena virus tersebut terkait erat dengan perilaku masyarakat.
Benar sejumlah teori dam imbauan dikeluarkan, seperti memakai masker, menjaga jarak, serta menghindari kerumunan selalu disampaikan, tetapi imbauan kan tidak akan berarti kalau disosialisasikan dan diedukasikan ke masyarakat.
Menurut saya, seharusnya pemimpin memikirkan aksi nyata yang dapat mengubah pola hidup masyarakat sesuai dengan pola kebiasaan baru dan protokol kesehatan.
Membuat Peraturan Daerah (Perda) itu benar, tetapi Perda hanya akan jadi macan ompong kalau pola hidup masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan mengahadapi Covid-19 ini tidak juga berobah.
Sosialisasi perlu memang, tapi apa sosialisasi itu sampai ke tingkat bawah, tingkat rumah tangga, atau RT dan RW, sekali lagi ini menyangkut kebiasaan pola hidup, maka sosialisasi tanpa dibarengi aksi adalah omong kosong!
Saat ini berlomba-lomba tim sosialisasi turun ke daerah, ada tim sosialisasi bentukan gubernur yang jumlahnya ada sekian tim, dan ada pula tim sosialisasi dari DPRD yang jumlahnya sekian pula, parahnya tim ini hanya sosialisasi sampai ke tingkat ibukota kabupaten dan kota saja, dan menurut saya itu tentu sangat tidak efisien dan tidak akan sampai kepada substansinya.
Lantas aksi seperti apa? tentu saja aksi dalam bentuk edukasi, bisa saja dalam bentuk relawan dan satgas yang ditempatkan sampai ke tingkat RT, Satgas inilah yang harus memantau pola hidup masyarakat, kalau perlu pemerintah menyediakan kebutuhan seperti itu dengan gratis dan distribusikan oleh Satgas tersebut .
Satgas harus tahu apakah warga punya handsanitizer, di rumah, bagiamana cara membuat disinfektan, atau menyediakan tempat cuci tangan di depan rumah yang dibarengi dengan ketersedian sabun pembersih, dan hal-hal lain yang terkait dengan protokol kesehatan, termasuk memantau apakah ada warga baru atau pendatang yang berkunjung dan memberikan edukasi protokol kesehatan.
Beri mereka wewenang dan tanggungjawab, dan wajib membuat laporan misalnya dua kali seminggu, dan tentu saja berikan uang lelah untuk mereka! jika hal itu bisa terlaksana saya yakin angka Covid-dapat ditekan dan biaya tentu akan semakin membengkak! (Novrizal Sadewa)
Video Terkait: