MASYARAKAT Nagari Abai, Kab. Solok Selatan tengah melaksanakan tradisi batombe dalam sebuah pesta perkawinan masyarakat setempat. IST |
“Dirabahan kabau nan gadang, kapalonyo
ditanam, darahnyo dikacau, dagiangnyo samo dimakan. Di sinan sumpah satia
dipabuek”. (Direbahkan -disembelih- seekor kerbau yang besar, kepalanya
dikuburkan, darahnya diaduk, dagingnya dimakan bersama-sama. Saat itulah sumpah
setia dibuat).
Laporan-- RYAN SYAIR
Puluhan laki-laki, muda hingga tua, secara bergotong royong terus berusaha untuk memindahkan sebatang pohon kayu besar yang baru saja mereka tebang. Berbagai upaya dilakukan, segenap tenaga dan kekuatan dikerahkan. Namun, pohon yang kayu-kayunya akan dijadikan bahan untuk membangun rumah gadang pertama di kampung mereka, tak juga bisa dipindahkan.
Dalam keputusasaan, tiba-tiba kaum perempuan yang bertugas menyiapkan bekal makanan dan minuman bagi para pegotong royong, mencoba mencari cara untuk memotivasi para pekerja agar tetap semangat memindahkan pohon kayu itu. Entah siapa yang memulai, tiba-tiba muncul saja inisiatif mereka untuk berpantun, yang secara spontan dibalas oleh kaum laki-laki, yang masih tetap fokus dengan pekerjaannya.
Dalam semangat dan keceriaan berbalas pantun antara kaum perempuan dan para pekerja laki-laki itulah, tiba-tiba pohon kayu yang tadinya sama sekali tidak bisa diangkat dan dipindahkan, sedikit demi sedikit mulai bisa digeser. Dan secara perlahan-lahan pula, akhirnya bisa dipindahkan ke lokasi pembangunan rumah gadang.
Hingga kini, bangunan rumah gadang 21 ruang milik Datuak Simajolelo dari suku Malayu Sigintir itu, masih berdiri kokoh di Jorong Kapalo Koto dan merupakan satu-satunya rumah gadang terbesar dan terpanjang di Solok Selatan, bahkan di Sumatera Barat.
Rentetan demi rentetan peristiwa sepanjang proses pembangunan rumah gadang yang diperkirakan terjadi pada tahun 1733 inilah, yang akhirnya diyakini masyarakat Abai, sebuah nagari yang terletak di Kecamatan Sangir Batang Hari, Kabupaten Solok Selatan, Provinsi Sumatera Barat, sebagai sejarah munculnya tradisi batombe. Sebuah tradisi yang secara turun temurun sudah diwarisi, setelah tersusunnya adat di salingka Nagari Abai, pada tahun 1933 silam.
Secara geografis, Nagari Abai terletak di kawasan berbukit, yang di belahan baratnya dilalui aliran Sungai Batang Hari. Menurut riwayatnya, nama Abai berasal dari kata obay ma obay, yang artinya saling menghubungi atau saling peduli antara satu dengan lainnya. Kini, nagari yang memiliki luas 66,47 kilometer persegi itu, dihuni masyarakat yang hidup di 8 (delapan) jorong, yakni Jorong Kapalo Koto, Pasa Lamo, Pasa Baru, Batu Nago, Simpang Ampek, Limo Suku, Batu Kaduduang dan Jorong Aur Duri.
Kesenian tradisional batombe, bukan sesuatu yang asing bagi masyarakat Nagari Abai. Selain karena memang lahir dan berkembang di daerah itu, tradisi batombe yang secara asal kata berasal dari paduan "ba" dan "tombe" (ba pada bahasa Minang merupakan awalan kata -ber- dan tombe berarti pantun) itu, hingga kini masih dilakukan masyarakat Abai dengan segala improvisasi dan penyesuaian mengikuti perkembangan zaman.
Selain kerap ditampilkan pada acara pembangunan rumah gadang, batombe yang juga telah menjadi salah satu suguhan kesenian tradisional khas Abai yang dipertunjukkan bagi para wisatawan yang berkunjung ke daerah itu, secara rutin juga digelar saat prosesi batagak penghulu, pesta perkawinan, penyambutan tamu khusus dan pelaksanaan upacara-upacara adat lainnya.
Secara umum, batombe nyaris sama dengan kesenian berpantun di daerah-daerah lain. Sebut saja tradisi Batang Hari Sembilan dan Gitar Tunggal, yang berasal dari Palembang dan Bengkulu. Hanya terdapat perbedaan pada alat musik pengiring dari kedua kesenian berpantun itu. Jika Batang Hari Sembilan dan Rejung menggunakan gitar sebagai alat musik pengiringnya, maka batombe menggunakan alat musik rabab.
Sementara media terpenting sebagai dendang yang dibawakan pada masing-masing kesenian tradisional itu tetap sama, yakni pantun. Dalam kesenian batombe, dendangan pantun yang dibawakan pendendang biasanya mewakili ungkapan perasaan hati, maupun sekelumit kisah tentang perjalanan hidup sehari-hari. Seperti cerita tentang percintaan, kesedihan, nasihat, bahkan ungkapan-ungkapan pembangkit semangat.
Dalam pertunjukan batombe, tidak ditentukan secara mutlak jumlah pemainnya. Setidaknya, pemain terdiri dari dua orang pendendang, yakni pendendang laki-laki dan perempuan. Baik kaum muda-mudi, maupun kaum tua, tanpa batasan usia. Pertunjukan batombe, biasanya dilakukan secara berkelompok, tergantung jumlah ketersediaan pemain, peminat dan pesanan si pemilik hajatan. Pada umumnya, masyarakat Abai pandai batombe (berpantun).
Untuk bisa menjadi seseorang pendendang batombe, sebagian besar masyarakat Abai tidak perlu belajar dan tidak pula mendapatkan pendidikan khusus. Mereka cukup belajar dari kebiasaan menyaksikan pertunjukan dan kemauan untuk mempraktikkannya sendiri. Sepanjang sudah bisa mendendangkan pantun, maka ia dianggap sudah bisa dikategorikan sebagai pemain.
Ada beberapa sisi menarik dan keunikan tersendiri dari pertunjukan batombe. Dimana seluruh untaian pantun yang didendangkan di setiap pertunjukan ini, dianggap membaca “kitab setan”. Para pemain/ pendendang, bahkan para penonton sekalipun, bisa dengan bebas dan sesuka hati mendendangkan pantun, yang cenderung keluar sekehendak hati. Baik berisikan ungkapan perasaan hati, imajinasi, maupun luapan emosi yang mewakili ekspresi jiwa mereka sendiri.
Sisi menarik lainnya, adalah ketika tradisi batombe yang biasanya digelar selama 7 (tujuh) malam berturut-turut (Jumat hingga Kamis), bersamaan dengan gelaran pesta perkawinan dan pelaksanaan upacara-upacara adat itu, dulunya turut membuka kesempatan bagi para pemain untuk mendapatkan jodoh dengan cara saling berbalas pantun.
Dalam pelaksanaannya, pertunjukan batombe digelar di dalam ruangan rumah gadang. Ruangan khusus yang digunakan untuk pertunjukan batombe itu, dihias seindah mungkin. Pada bagian langit-langit dilapisi kain bermotif kotak, segitiga dan garis berwarna merah, kuning, hijau, putih, biru dan hitam. Pada bagian dinding, dihiasi dengan potongan kain yang menjuntai ke bawah dengan warna-warna yang cerah. Seluruh pemain batombe mengenakan pakaian sopan, seperti pakaian baju kurung bagi kaum perempuan.
Kaum perempuan, khususnya ibu-ibu Nagari Abai, mengantarkan seserahan secara adat yang dimasukkan ke dalam sebuah panji maupun cawan. Isinya beragam, di antaranya kelapa, minyak tanah, minyak manis, gula pasir, garam dan lain sebagainya. Semua seserahan adat tadi diberikan kepada si pangkalan (tuan rumah) pada saat datang berkunjung ke rumah gadang pihak yang punya alek.
Seserahan yang diberikan itu lantas dikumpulkan dan dipergunakan untuk kebutuhan pangan selama perhelatan berlangsung. Selanjutnya, pihak si pangkalan memberikan balasan berupa makanan baik itu sambal, pinyaram, kue talam, atau sipuluik sebagai wujud basa-basi tuan rumah kepada tamu yang mau datang berkunjung dan datang membantu hajatnya.
Selama pertunjukan berlangsung, batombe diawasi oleh mamak kepala persukuan kedua belah pihak yang mengadakan perkawinan, dengan tujuan untuk menghindari tindakan atau hal-hal yang melanggar nilai adat dan agama.
Pendendang laki-laki dan pendendang perempuan dibatasi jarak posisi duduknya. Sementara di dalam ruangan pertunjukan diberi cahaya lampu yang terang dan disaksikan oleh masyarakat (penonton) secara beramai-ramai. Biasanya, batombe dimulai setelah salat Isya dan berakhir hingga menjelang masuknya waktu Subuh.
Batombe Sebagai Pemersatu
“Dirabahan kabau nan gadang, kapalonyo ditanam, darahnyo dikacau, dagiangnyo samo dimakan. Di sinan sumpah satia dipabuek”.
Menyembelih hewan ternak yang besar seperti kerbau, memang telah tradisi masyarakat di berbagai suku di nusantara. Namun di Minangkabau, di Sumatera Barat, di Nagari Abai khususnya, ungkapan yang mengawali tulisan ini mengandung arti sebagai sebuah komitmen dan kesepakatan bersama untuk selalu hidup dalam persatuan dan kerukunan.
Karena selain berarti pantun, tombe dalam bahasa Abai juga mempunyai tiga makna, yakni tiang atau tegak, musyawarah atau mufakat, dan bersatu. Dapat disimpulkan, esensi dari berbalas pantun (batombe) bagi warga Nagari Abai, pada hakikatnya adalah ajang silaturahmi untuk menyemangati, bekerjasama manjapuik baban nan jauah, pambao baban nan barek (menjemput beban yang jauh, pembawa beban yang berat) dan sebagai alat pemersatu bagi masyarakat Nagari Abai.
Menjemput kembali kepada sejarahnya, batombe sebagai salah satu kekayaan budaya yang mengandung nilai dan norma-norma budaya tradisi dan menjadi akar kebudayaan masyarakat Minangkabau, memang menjadi salah satu peristiwa penting dalam perjalanan sejarah kehidupan masyarakat Nagari Abai. Karena tidak hanya berorientasi pada hiburan semata, namun batombe juga lebih kepada upaya untuk mempersatukan tali persaudaraan dan kekeluargaan di tengah-tengah lingkungan masyarakatnya.
Hal ini dapat dilihat dari proses dan rentang perjalanan jelang pelaksanaan batombe dalam pesta perkawinan. Jauh-jauh hari sebelum pertunjukan digelar, para niniak mamak kaum sebagai kepala suku bersama para raja (Rajo Tigo Selo), alim ulama, cadiak pandai, tungganai, puti-puti, dan bundo kanduang, terlebih dahulu duduk bersama melakukan musyawarah untuk bermufakat. Pertemuan ini dikenal dengan istilah duduak urang tuo, yang merupakan lanjutan dari rapek awak, atau kesepakatan bersama dari hasil musyawarah keluarga dekat.
Dari hasil prosesi duduak urang tuo inilah, kesepakatan boleh diadakan atau tidaknya tradisi batombe ini diputuskan. Dengan adanya persetujuan niniak mamak, maka pertunjukan sudah boleh dilaksanakan. Sebelum membuka pancang dan lambai sebagai lambang batombe yang sudah dipasang sebelumnya, peresmian dimulainya batombe juga ditandai dengan dendangan pantun yang dibawakan oleh penghulu (niniak mamak), atau yang mewakilinya.
Menurut Katik Batuah, salah seorang pemuka masyarakat Nagari Abai, pertunjukan batombe khususnya dalam upacara perkawinan, merupakan bagian dari cara mewariskannya kepada kepada masyarakat, khususnya kalangan generasi muda. Tujuannya agar mereka mengetahui betapa sakralnya tradisi ini, sekaligus agar mereka mengetahui persyaratan untuk pelaksanaan batombe, yang memang harus seizin niniak mamak Nagari Abai.
“Itu caro kito mawarihannyo kapado anak kamanakan. Takah di rumah ko, nan dibukak jo saraik mamotoang jawi. Dibuliahan, tapi dilarang manuruik adaik jikok dibukak sambarangan kalau indak duduak panghulu nan 14, rajo tigo selo dan alim ulama. Jadi, harus dibukak sacaro adaik, indak bulieh batombe kalau hanyo alek mamotong ayam atau kambiang”.
“Ini cara kita mewariskannya kepada anak kemenakan. Seperti di rumah ini, yang dibuka dengan syarat memotong sapi. Dibolehkan, tapi dilarang menurut adat jika dibuka secara sembarangan kalau tidak duduk penghulu yang 14, raja tiga selo dan alim ulama. Jadi harus dibuka secara adat, tidak boleh batombe kalau hanya dengan sekadar helat memotong ayam atau kambing”.
Jelas sudah, batombe sebagai salah satu media untuk menyampaikan nasihat dan wejangan kepada semua orang tanpa memandang kelas sosial dan jabatan, merupakan salah satu tradisi kebanggaan masyarakat Nagari Abai yang sarat dengan muatan-muatan edukatif.
Segala proses yang dilakukan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan seluruh lapisan masyarakat Abai dalam semangat gotong royong, membuktikan bahwa batombe merupakan senjata paling ampuh dalam upaya merawat persatuan di tengah-tengah kehidupan masyarakat Abai.
Theresa Febrysta Fuad, S.Sn M.Sn, salah seorang pegiat seni tradisi yang juga pembina salah satu sanggar kesenian di Solok Selatan mengatakan, tidak hanya menyosal kesakralan tradisi, batombe juga mengajarkan banyak hal tentang pentingnya penghormatan terhadap nilai-nilai yang diwariskan para leluhur.
Selain mengajarkan tentang bagaimana cara menghormati pemimpin, adab bersopan santun, gotong royong, kesenian tradisional batombe juga memberikan banyak pelajaran tentang cara berkomunikasi yang mengikuti tata aturan berbicara (kato nan ampek), serta tata aturan dalam berprilaku (tau jo adaik) dalam kehidupan bermasyarakat.
Eksistensi batombe hingga sekarang katanya, juga ditunjukkan dengan melibatkan kontrol adat sebagai dasar utama dalam kehidupan masyarakat di Nagari Abai. Legitimasi adat juga menjadi bagian terpenting yang tak bisa dipisahkan dalam keseharian masyarakat, agar segala aktivitas yang dijalankan selalu mengikuti pola keteraturannya. Legitimasi adat dalam tradisi batombe ini, ditunjukkan dengan pengakuan (melalui musyawarah) para pemangku adat, apakah tradisi ini bisa dilaksanakan atau tidak.
Proses pelegitimasian pun harus dilakukan di wilayah adat yaitu rumah gadang dengan simbol-simbol adat (marawa dan tabir). Melalui legitimasi adat ini, maka berbagai perubahan yang terjadi dalam tradisi batombe, tetap bisa dilaksanakan. Sebaliknya, dengan adanya batombe, maka tata cara adat tetap mampu dilestarikan dan dipertahankan dalam kehidupan masyarakatnya.
Selain sebagai wadah pemersatu, batombe menurut Sutan Bagindo, salah seorang pemangku adat Nagari Abai, juga memiliki fungsi sebagai penyemangat di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Ini menjadi salah satu alasan kenapa tradisi batombe masih dipertahankan. Karena dengan jelas, batombe telah menggambarkan bagaimana kehidupan dan interaksi sosial masyarakat Abai yang masih menjunjung tinggi nilai adat dan norma agama di tengah lingkungannya.
“Batombe juga mejadi media pembelajaran bagi seluruh masyarakat tentang norma-norma kehidupan yang baik. Dari pantun demi pantun yang dibawakan pendendang, masyarakat juga dapat mengambil banyak pembelajaran dari pesan, nasihat dan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam seni pertunjukan ini,” kata Sutan Bagindo.
“Kitab Setan” Pembantar Radikal
Batombe adalah tradisi lisan dengan kemampuan bertahan yang sangat baik. Hal ini terbukti dengan masih digelarnya pertunjukan seni pantun itu di berbagai upacara adat Nagari Abai, seperti pengangkatan gelar penghulu, penobatan gelar raja, alek intan babungo dan pendirian rumah gadang. Letak geografis Nagari Abai yang relatif jauh dari pengaruh luar, menyebabkan batombe masih hidup subur di daerah itu.
Salah satu pengaruh luar yang kini tengah menghantui bangsa Indonesia adalah semakin maraknya perkembangan paham radikalisme dan terorisme. Pengaruh radikalisme yang merupakan suatu pemahaman baru yang dibuat-buat oleh pihak tertentu mengenai suatu hal, seperti agama, sosial dan politik, seakan menjadi semakin rumit karena berbaur dengan tindak terorisme yang cenderung disertai dengan aksi kekerasan.
Berbagai tindakan teror yang tak jarang memakan korban jiwa, seakan menjadi cara dan senjata utama bagi para pelaku radikal dalam menyampaikan pemahaman untuk mencapai sebuah perubahan yang diinginkan kelompoknya.
Dalam hal ini, tentunya bukan hanya kalangan pemerintah saja yang harusnya mengambil bagian untuk mencegah dan mengatasinya, namun seluruh rakyat juga harus ikut terlibat dalam usaha tersebut, terutama masyarakat adat di seluruh Indonesia. Hal ini dikarenakan keberadaan masyarakat adat dengan nilai-nilai tradisi dan kearifan lokalnya yang masih terawat, diyakini sebagai benteng terakhir dalam pertahanan membantar segala bentuk penyebaran paham radikal.
Salah satu hal yang paling mencolok untuk dapat mengambil peran dalam mengatasi masalah ini adalah eksistensi kearifan lokal yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Tradisi batombe sebagai salah satu warisan budaya leluhur yang hingga kini masih eksis di tengah-tengah kehidupan masyarakat Nagari Abai, merupakan aset berharga yang harus terus dijaga kelestariannya.
Tradisi batombe dengan “kitab setan” yang menjadi produk unggulannya, setidaknya bisa menjadi media pembelajaran untuk memperkenalkan ilmu pengetahuan kepada masyarakat, terutama kepada khalayak (penonton) nya. Batombe dengan dendang pantun-pantun yang berisikan pesan-pesan dan nasihat, diharapkan mampu memberikan penekanan-penekanan akan pentingnya pencegahan radikalisme kepada siapapun.
Tidak hanya sebatas memperkenalkan ilmu pengetahuan yang bersifat umum, melainkan juga ilmu agama dan ilmu adat yang merupakan pondasi penting dalam mengatur perilaku, sikap dan juga keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena dalam pelaksanaannya, tradisi batombe juga menekankan pesan betapa pentingnya memahamkan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh dengan baik dan benar dalam kehidupan sehari-hari.
Jika pemahaman akan ilmu pengetahuan, adat istiadat dan agama sudah tercapai, maka hampir bisa dipastikan kekokohan pemikiran yang dimiliki akan semakin kuat. Sehingga diharapkan tidak akan mudah goyah dan terpengaruh terhadap pemahaman radikal, yang menjadi penyebab lunturnya semangat Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan bangsa.
Tradisi batombe, sesungguhnya telah mengajarkan betapa pentingnya penanaman semangat gotong royong, kebersamaan, persatuan dan kerukunan dalam sebuah tatanan kehidupan bermasyarakat. Dengan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya sebagai warisan leluhur, batombe yang melibatkan partisipasi aktif seluruh komponen masyarakat di Nagari Abai, secara tak langsung telah mampu dalam meminimalisir kesenjangan sosial di tengah-tengah masyarakatnya.
Karena bukan menjadi rahasia umum, faktor kesenjangan sosial yang terjadi, juga diyakini sebagai salah satu pemicu munculnya pemahaman radikalisme, yang berujung pada tindakan terorisme. Pemerintah sampai ke tingkat terendah sekalipun, dalam hal ini dituntut harus hadir untuk merangkul rakyatnya. Pemerintah harus hadir untuk memberikan dukungan dan apresiasi penuh terhadap berbagai bentuk kearifan lokal masyarakatnya.
Nagari Abai dengan tradisi batombe-nya, merupakan salah satu bukti kekuatan dan kekayaan budaya nasional. Tradisi batombe yang hingga kini masih terus terpelihara dengan baik, seolah memberikan pelajaran penting bahwa pemahaman tentang hidup kebersamaan harus dilakukan untuk mencegah pengaruh-pengaruh negatif yang dapat merusak tatanan kehidupan dan memecah-belah persatuan.
Batombe juga mengajarkan, bahwa pentingnya sikap toleransi dan solidaritas dalam kehidupan bersama dalam bermasyarakat, perlu diberlakukan dengan tetap menjunjung tinggi nilai dan norma-norma yang berlaku. Rasa senasib sepenanggungan yang diaplikasikan dalam semangat gotong royong dan kebersamaan, bisa dipastikan akan menjadi bagian terpenting dalam menangkal penyebaran paham radikal terorisme.
Pada akhirnya, dendang “kitab setan” yang berisikan pantun-pantun spontan dalam pelaksanaan tradisi batombe di Nagari Abai, diharapkan menjadi salah satu benteng dalam upaya mencegah dan membantar berkembangnya paham radikalisme dan terorisme yang bisa dengan mudah menyelinap masuk dalam sendi-sendi kehidupan dan keseharian masyarakat.
Muatan pesan-pesan penuh makna dan nasihat luhur yang menjadi wujud ekspresi jiwa yang disampaikan dalam dendang batombe, diharapkan mampu memberikan pemahaman dan keteladanan kepada masyarakat akan pentingnya merawat kearifan lokal sebagai senjata pembantar radikal.
Dari Abai untuk Indonesia
Proses kelahiran tradisi kesenian batombe di Nagari Abai, jelas tak bisa dipisahkan dari peran kaum perempuan. Setidaknya, atas inisiatif kaum perempuanlah tradisi batombe ini pertama kalinya dan secara tak sengaja diperkenalkan di tengah-tengah masyarakat Abai. Bermula dari sekadar keisengan dalam rangka menyemangati para pekerja laki-laki, pada akhirnya batombe tumbuh menjadi khazanah budaya bangsa yang sudah mendunia.
Dalam kaitannya dengan upaya mencegah dan menghadapi aksi radikal terorisme, keberadaan kaum perempuan juga memiliki peran strategis. Belajar dari spirit batombe sebagai salah satu media penyemangat dan pemersatu masyarakat di Nagari Abai, peran aktif kaum perempuan juga sangat diharapkan dalam memberikan pencerahan dan pendidikan, baik dalam lingkungan keluarga, maupun masyarakat.
Hal ini juga pernah ditekankan Kepala Deputi Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Mayjen Hendri Paruhuman Lubis. Ia mengatakan, bahwa perempuan mempunyai peran sangat strategis dalam pencegahan perkembangan paham radikalisme dan terorisme. Kaum perempuan katanya, diharapkan secara aktif dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat secara luas.
"Perempuan mempunyai peran strategis, karena menjadi tumpuan pendidikan anak di tengah-tengah keluarga," ujar Mayjen Hendri.
Mayjen Hendri mengatakan, kelompok teroris sengaja menyebarkan propaganda dan narasi bermuatan sentimen dan kebencian berbasis perbedaan agama sebagai bagian dari upaya meradikalisasi masyarakat. Karena patut dipahami juga, bahwa seseorang menjadi teroris bukanlah melalui sebuah proses yang instan, melainkan melalui tahapan dari mengadopsi narasi-narasi intoleran, radikal dan terakhir menuju terorisme.
“Perempuan harus menjadi bagian terpenting dalam menangkal ajaran tersebut, bukan justru menjadi korban kekerasan dan teror. Apalagi sebaran ajaran radikalisme saat ini tidak hanya terjadi secara offline, tetapi yang lebih mengkhawatirkan narasi radikalisme yang begitu marak bertebaran di dunia maya," tambahnya.
Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Sumbar Dr. Zaim Rais juga menyebut hal senada. Dikatakan, upaya pencegahan terorisme bisa dimulai dari peran kaum perempuan selaku orangtua dalam mendidik anaknya di lingkungan rumah tangga dan keluarga.
"Kalau anak dan keluarga sudah diiringi dengan pendidikan, pemahaman adat dan agama yang kuat, akan sangat mustahil terjadinya aksi radikalisme dan terorisme," ucap Zaim Rais.
Maka kata Zaim, salah satu cara untuk mencegah paham radikalisme itu meluas adalah dengan memberikan sosialisasi kepada semua elemen masyarakat, khususnya kepada kaum perempuan tentang betapa bahayanya tindakan terorisme. Karena tidak hanya efektif sebagai penangkal, kaum perempuan bahkan tergolong rentan terhadap pengaruh ideologi radikal terorisme itu sendiri. Perempuan dengan terorisme memang unik, karena selama ini pelaku teror didominasi oleh kaum laki-laki. Namun sejatinya kata Zaim, tidaklah demikian.
"Memilih perempuan sebagai aksi teror, termasuk memiliki aspek strategis-taktis. Karena perempuan akan dengan mudah mengecoh aparat penegak hukum, yang mana diketahui selama ini pelaku aksi teror lebih identik dengan laki-laki. Itulah sebabnya maka para teroris memilih kaum perempuan," imbuhnya.
Artinya sambung Zaim, secara taktik pemanfaatan perempuan tentu menjadi sangat berharga dalam jaringan terorisme. Karena itulah, perempuan harus menyadari pentingnya eksistensi dirinya di tengah masyarakat. Perempuan justru akan menjadi kekuatan dalam memerangi paham radikal terorisme, khususnya di tengah keluarga.
Wakil Gubernur Sumatera Barat, Nasrul Abit yang dihubungi terpisah, mengakui jika dari banyak aksi terorisme di Indonesia turut melibatkan kaum perempuan. Bahkan grafiknya cenderung meningkat dalam beberapa tahun terakhir ini. Dikatakan, aksi terorisme dengan melibatkan perempuan dan anak, telah dibuktikan dengan banyaknya peristiwa terorisme yang terjadi di beberapa daerah dan negara.
"Tentunya, kita harus bersama-sama dalam menyikapi persoalan ini. Dengan melibatkan peran perempuan sebagai agen perdamaian, tentu merupakan konsep yang sangat tepat untuk diterapkan dalam mencegah paham radikal di tengah-tengah masyarakat," katanya.
Di sisi lain, Nasrul Abit juga mengapresiasi konsistensi masyarakat Nagari Abai dalam merawat dan melestarikan kearifan lokalnya. Setali tiga uang dengan peran strategis kaum perempuan, komitmen masyarakat adat dalam menjaga keberlangsungan nilai-nilai tradisi, juga menjadi benteng terakhir dalam upaya menangkal paham radikal yang dapat dengan mudah menyelusup masuk dalam hidup dan keseharian masyarakat.
Nagari Abai dengan tradisi batombe-nya kata Nasrul Abit, adalah salah satu bukti nyata bahwa masyarakat Minangkabau hingga kini masih memegang teguh energi dan nilai-nilai positif yang diwariskan para leluhur. Meski terus berpacu dengan pesatnya arus globalisasi informasi dan komunikasi, namun batombe sebagai salah satu inspirasi dari kearifan lokal masyarakat Nagari Abai, pantas untuk dijadikan sebagai referensi Indonesia dalam menangkal gempuran radikal dan terorisme.
“Batombe adalah khazanah budaya bangsa yang harus terus dipelihara. Semangat batombe yang hingga kini masih terus mengakar dalam kehidupan masyarakat Abai, merupakan cerminan dari betapa konsistennya masyarakat dalam merawat nilai-nilai luhur yang telah diwariskan. Batombe harus dipertahankan,” harap Nasrul Abit.
Seiring kondisi dan perkembangan zaman, batombe memang telah pula bertransformasi di beberapa unsur teknis dan tata cara pelaksanaannya. Namun demikian, esensi batombe tetap tak pernah bergeser dari khittahnya. Batombe, dulu dan sekarang, tetaplah sebagai sebuah simbol dari karakter masyarakat Nagari Abai yang hidup dalam rukun, berdampingan dan menjadikan persatuan sebagai landasan interaksi sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Masyarakat Nagari Abai sebagai pengemban warisan kesenian tradisional batombe, sangat mencintai kesenian berpantun ini. Didukung dengan uatnya peran niniak mamak (penghulu) dalam menjaga tatanan kehidupan masyarakat, sekaligus dalam kelestarian batombe, juga telah membuat tradisi ini tetap eksis hingga sekarang. Karena memang, batombe yang lahir dan berkembang di Nagari Abai, telah menjadikannya sebagai identitas dan pakaian masyarakat Abai itu sendiri.
"Ramilah pasa Sungai Padi, rami dek anak nan mudo-mudo. Asa sakali maubah janji, salamonyo urang dak kapicayo". (Ramailah pasar Sungai Padi, ramai oleh anak muda-muda. Asal sekali merubah janji, selamanya orang tidak percaya).
"Gadang riak Batu Palano, riak mamacah ka subarang. Tingga saketek bangkalai lamo, lai kok raso ka diulang". (Besar riak Batu Pelana, riak memecah ke seberang. Tinggal sedikit bengkalai lama, mungkinkah rasanya akan diulang).
* Pisang timbatu salah batu, pucuak digateh si ramo-ramo. Kok lai kandak ka balaku, usah digantuang balamo-lamo". (Pisang timbatu salah batu, pucuk dimakan si rama-rama. Jika keinginan akan berlaku, usah ditunda berlama-lama).
Batombe, memang terlahir dari kearifan lokal masyarakat di sebuah kampung tersuruk di bagian timur Sumatera Barat, bernama Abai. Namun, segala kandungan nilai-nilai luhur yang sarat akan pesan-pesan persatuan dan solidaritas sosial dalam seni tradisi batombe ini, adalah persembahan para leluhur untuk khazanah kebudayaan bangsa. Sebuah warisan yang menjunjung tinggi nilai-nilai dan pengamalan Pancasila.
Batombe, inspirasi Abai untuk Indonesia. **