×

Iklan


Bertani itu Sungguh Mulia

26 Agustus 2020 | 13:26:53 WIB Last Updated 2020-08-26T13:26:53+00:00
    Share
iklan
Bertani itu Sungguh Mulia

Oleh: Eko Yanche Edrie

 


    Pada usia belia di tahun-tahun 70an saya masih sering mendengar ungkapan orang tua-tua di kampung saya di lereng gunung Merapi di tengah-tengah Sumatra Barat; “Kalau akan bertani juga, kenapa harus sekolah tinggi-tinggi?”

    Ungkapan itu dikatakan kepada mereka yang tadinya sudah menamatkan SMA tapi kemudian memilih jadi petani di kampungnya. Itu dianggap aib bagi sebagian besar orang di kampung. Paham yang berkembang, seolah kalau sudah sekolah sampai SMA saja itu harus jadi orang kantoran, jadi orang kota atau setidaknya jangan lagi bersinggungan dengan pacul dan tanah. Biarlah urusan pacul dan tanah serta tanaman yang ada di atasnya menjadi urusan orang desa, orang-orang yang tidak bersekolah.

    Paham dan pandangan seperti itu menghinggapi sebagian besar masyarakat di pedesaan pada tahun-tahun 70 sampai 80an. Sementara pada masa itu pula, pemerintah tidak terlalu memperhatikan segi sumber daya manusia petani Indonesia. Yang dipentingkan waktu itu adalah capaian angka produksi yang akan mendukung program swasembada yang tengah gencar-gencarnya digulirkan pemerintah. Pemerintahan baru pimpinan Jenderal Soeharto selepas pergolakan 1965 masih mengalami trauma paceklik masa orde lama. Bahkan diyakini ketika itu bahwa keminiman produksi pangan dan stok pangan nasional telah dengan mudah membuat rakyat terseret pada paham kiri.

    Departemen Pertanian pada masa-masa permulaan orde baru senantiasa hanya dicekoki bagaimana produksi padi melimpah. Dengan pendekatan intensifikasi lalu didukung diversifikasi kampanye mencapai stok pangan nasional menggema ke semua pelosok desa. Para petani dimanjakan dengan subsidi pupuk dan pestisida. Sebagian lagi mendapat bantuan mekanisasi. Tapi semuanya tetap berorientasi pada capaian kuantitas produksi belaka.

    Bisa dimaklumi kalau keluhannya masih minim ketika itu, lantaran ada keterjaminan pascapanen melalui pembelian gabah besar-besaran oleh pemerintah bagi penyangga stok pangan nasional. Dan proteksi ketat juga diberikan kepada petani untuk melindungi mereka dari serbuan saingan dari luar.

    Tetapi petani memang tak pernah membaca ramalan futurolog macam Alvin Toffler yang bicara soal globalisasi, tentang terbukanya sekat-sekat antarbangsa. Tiba-tiba petani di Alahan Panjang Sumatra Barat mesti bersaing dengan petani dari Thailand, petani apel di Batu Malang Jawa Timur harus segera bersaing dengan petani apel dari China. Padi caredek dari rumpun beras solok yang terkenal itu harus bersaing dengan beras vietnam yang diproduksi petani Vietnam.

    Para petani tiba-tiba harus menghadapi kenyataan bahwa rupanya mereka tidak boleh hanya sekedar ‘membaca tanah dan cuaca’ tetapi juga harus ‘membaca pasar’. Kenyataan baru bahwa masyarakat yang mengonsumsi produk pertanian makin lama juga makin terdidik. Tidak semua produk pertanian dilahap begitu saja oleh masyarakat modern. Mereka mulai selektif. Kecenderungan untuk menghindari produk berisi bahan kimia makin meluas di seluruh dunia. Itu artinya petani yang masih belum beranjak dari pola tani konvensional ke pola tani organik pastilah akan ketinggalan atau seperti dikatakan di atas: ‘tidak mampu membaca pasar’.

    Beberapa daerah di Indonesia memang sudah memberi perhatian pada peningkatan sumber daya manusia kaum tani. Dari memberikan mereka kursus-kursus budidaya dan teknologi pertanian terapan sampai kepada pemberian pengatahuan tentang agronomi.

    Saya teringat dua tokoh penting dari Sumatra Barat yang di zaman (1990an) mereka dilakukan dengan serius peningkatan kualitas SDM petani. Mereka adalah Gubernur Hasan Basri Durin dan Bupati Solok, Nurmawan.

    Hasan Basri Durin di tahun-tahun 90an mulai menyadari bahwa pertanian masih akan menguasai sebagian besar hajat hidup orang di Sumatra Barat, sekalipun tingkat kepemilikan lahan pertaniannya hanya 0,4 ha/KK tetapi menurut Hasan, pertanian tetap akan jadi idola dan pemberi kontribusi besar dalam PDRB Sumatra Barat. Masalahnya bagaimana mengfektifkan minimnya lahan demi mencapai hasil produksi serta mampu meningkatkan daya saing petani daerah itu.

    Satu hal yang dilakukan untuk itu adalah mengadopasi apa yang ada di Perfektur Oita Jepang. Gubernur Hasan membawa satu tim untuk belajar ke Oita tentang pola one village one product (OVOP). Kegagalan petani daerah untuk menghadapi persaingan di pasar adalah karena produksi tidak terkendali dengan baik. Dengan OVOP maka tiap-tiap desa harus diatur komoditas yang jadi konsentrasinya. Desa A mengintensifkan tanaman jagung, maka desa tetangganya B jangan memilih jagung pula. Di desa B harus ditanam tanaman lain (sesuai dengan agroklimat desa itu). Begitu juga desa C harus menanam jahe saja, desa D menanam kunyit saja, desa E menanam tomat saja, desa F menanam cabai saja.

    Apa dampak yang diperoleh dengan pola OVOP tadi? Pada saat panen tidak ada overproduksi yang membuat suplai melimpah yang berujung pada jatuhnya harga. Pada pengalaman terdahulu di Sumatra Barat, pemassalan sebuah produk yang kadang didukung pula dengan sebuah gerakan terpadu sering membuat petani mengeluh dan mencela pemerintah. Ambil contoh ketika terjadi gerakan menanam gardamungu (gardamon) cassiavera, jahe gajah dan terung jepang. Awalnya memang petani senang karena harga menggiurkan. Tetapi ketika pola tanam tak terkendali, perwilayahan  komoditasnya tidak ada, maka semua menanam produk yang sama pada sata bersamaan pula. Walhasil ketika terjadi panen raya, produksi melimpah, sedang demand tidak cukup besar. Harga jatuh sejatuh-jatuhnya. Petani lalu melayangkan sumpah serapah kepada pemerintah yang tiap hari menganjur-anjurkan mereka bertanam produk yang oversuplai tadi. Maka selanjutnya yang terjadi adalah pemerintah kehilangan kepercayaan rakyat desa ketika harus mengomunikasikan sesuatu program. Mereka tak percaya lagi dengan program itu. Dalam gerutuan mereka berkata: “Jangan-jangan ini hanya tipu muslihat baru lagi”

    Pada kurun waktu 1988 hingga 1995 di Sumatra Barat mulai diatur pola OVOP itu. Tiap-tiap Kabupaten memiliki keunggulan produk sendiri yang harus saling berbeda dengan kabupaten lain.

    Sementara itu Bupati Solok Nurmawan yang memiliki latar belakang sebagai seorang hibridis padi melihat hal yang kurang lebih sama dengan cara pandang Hasan Basri Durin. Tapi baginya yang terpenting adalah adanya upaya meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) tani.

    “Petani bisa saja hanya tamat SMP namun mereka harus terus menerus diupgrade wawasan dan tingkat penguasaan mereka terhadap hal ihwal yang berkaitan dengan agronomi. Kalau budidaya dan teknologi pertanian sejak awal orde baru rasanya sudah cukup banyak mereka (petani) kuasai,” ujar Nurmawan suatu ketika kepada saya.

    Maka pada masa pemerintahan  Nurmawan di Kabupaten Solok, ia menggelorakan apa yang dia sebut Gerbang Emas (Gerakan Pengembangan Ekonomi Masyarakat). Insinyur pertanian jebolan Universitas Andalas itu meyakini bahwa kalau patani hanya digasak untuk menanam padi terus, tak ada harapan akan terjadi perbaikan ekonomi masyarakat. Akan makin banyak dampak sosial akibat kemiskinan di desa-desa. Para pemuda desa main banyak merantau dan menjadikan pertanian sebagai pekerjaan yang tak perlu dilirik lagi.

    Nurmawan mulai membuatkan pola gerakan yang berorientasi peningkatan pendapatan petani. Jika petani menanam padi, maka harus ada pendapatan tambahan dari usaha padi itu misalnya penggabungan dengan mina padi. Secara teknis pertanian tidak ada hal yang baru pada pola Nurmawan tadi. Tetapi satu hal yang menarik adalah adanya usaha membuat pertanian sebagai sesuatu yang menarik dan mengubahnya dari citra pekerjaan hopeless menjadi pekerjaan yang prospektif. Bahwa jadi petanipun bisa jadi kaya. Petani harus bisa juga berlibur ke Bali atau ke Singapura.

    Maka kemudian munculah rumusan Nurmawan yang terkenal P = A + T1 + T2 + T3 + Tn (dimana P adalah Pendapatan Total Petani, A adalah Pendapatan Asli Petani sedangkan T adalah Pendapatan Tambahan)

    Apa yang dilakukan Hasan Basri Durin dan Nurmawan, sayangnya kemudian tak lagi diteruskan oleh para pemimpin berikutnya. Reformasi 1998 rupanya membuat orang mulai melupakan hal-hal tentang kehidupan petani. Orang makin sibuk dengan urusan politik dan pertengkaran di tingkat elit tidak lagi menghiraukan nasib petani.

    Maka sudah saatnya kembali digalakkan upaya peningkatan SDM petani. Ada sebuah kawasan di Kecamatan X Koto Kabupaten Tanah Datar yang pernah dijadikan Institut Pertanian Organik (IPO) adalah kawasan yang sebenarnya bisa memberi harapan untuk pencerahan para petani. Di situ dimungkinkan petani mempelajari bagaimana menghindari ketergantungan pada pupuk dan pestisida yang selama ini ternyata menyita amat besar dari modal produksi tani. Kelangkaan pupuk yang banyak dikeluhkan di mana-mana harus diakhiri kalau SDM petani sudah membaik dan memahami pola pertanian organik.

    Sementara di Kinari Kabupaten Solok, Yongki Salmeno, mantan wartawan Kompas yang memilih jadi petani pernah membuka lembaga yang mirip IPO itu. Yongki menamakannya Puspa Tani (Pusat Pendidikan Tani). Ia menerapkan pertanian organik juga dengan konsentrasi pada peternakan sapi. Tiap pekan ada puluhan orang yang berdatangan ke Puspa Tani untuk belajar tentang pertanian organik dan seluk beluk peternakan yang sehat dan ekonomis.

    Yang terbaru, Uda Djoni, mantan Kadis Pertanian Sumatera Barat di masa pensiunnya tetap berada di sekitar pertanian. Ia membuka pusat pendidikan budidaya di tempatnya di kawasan Siteba Padang. berbagai percobaan budidaya dia lakukan dan terbuka untuk belajar bagi siapa saja.

    Maka di masa depan harus makin banyak didirikan pusat-pusat pendidikan seperti itu yang tak memerlukan dana besar sebesar mendirikan balai-balai pertanian yang kadang hanya banyak jadi sarang penyelewengan belaka. Padahal hampir tak banyak disebut-sebut adanya peningkatan SDM petani dari kehadiran banyak balai pertanian.

    Membaiknya SDM petani akan makin membuka peluang untuk membaiknya kehidupan masyarakat di pedesaan lantaran hasil dari pertanian ternyata luar biasa. Kecenderungan urbanisasi yang dipicu kemiskinan di pedesaan dapat ditekan. Urusan bersaing dalam era global, sentana petani sudah cerdas dan tak hanya paham budidaya dan teknologi pertanian tapi juga amat paham dengan agronomi, tentulah tidak perlu dicemaskan lagi. Bertani itu mulia!***