(foto: dok pribadi) |
Oleh: Sondri (Caleg DPRD Provinsi Sumbar Dapil VI dari Partai Hanura)
Terletak di antara Gunung Marapi dan kawasan Bukit Barisan, dan termasuk sebagian lingkar Danau Singkarak, kabupaten Tanah Datar berada mempunyai udara yang sejuk dan hamparan persawahan di beberapa kawasan kecamatan, seperti Batipuah, Sungai Tarab, Sungayang, Rambatan dan Padang Gantiang, Lintau Buo dan kecamatan lainnya.
Walau cukup banyak areal persawahan tapi Kabupaten Tanah Datar tidak dikenal sebagai daerah penghasil beras seperti halnya Kabupaten Solok dan Agam. Sebagian wilayah yang berada di sekitar lereng Marapi dan Singgalang terkenal sebagai penghasil sayur-sayuran seperti Kecamatan X Koto, Sungai Tarab, Salimpaung dan Tanjung Baru.
Sedangkan untuk areal perkebunan tanaman tua sebagian kecil Kecamatan Tanjung Emas, Padang Gantiang, Lintau Buo dan Lintau Buo Utara. Perkebunan tanaman tua ini tentu dapat dibandingkan dengan perkebunan di daerah-daerah Sijunjung, Dharmasraya apalagi Pasaman Barat, Pesisir Selatan dan Limapuluh Kota.
Skema pembangunan Kabupaten Tanah Datar sampai saat ini masih terkesan abstrak. Skala prioritas berdasarkan sektor unggulan belum terasa. Satu pertanyaan yang menggelitik, seebenarnya apakah yang menjadi andalan Kabupaten Tanah Datar.
Tanah Datar dikenal juga sebagai Luhak Nan Tuo. Hal ini berkaitan dengan sejarah keminangkabauan. Oleh karena faktor penggalan sejarah kebudayaan dan keminangkabauan itulah berdiri sebuah simbol sejarah yang bernama Ustano Basa Pagaruyung.
Pada suatu waktu pasca kebakaran yang menghanguskan ustano tersebut diadakan semacam lokakarya untuk membahas soal keberadaan dan penamaan kembali ustano tersebut yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Sumbar dengan leading sektornya Bappeda Sumbar.
Sangat berkebetulan sekali pada waktu itu penulis diminta menjadi salah seorang fasilitator oleh tim konsultan yang dihayer pihak Pemprov. Saat itu penulis yang masih relatif muda, mendapatkan pengetahuan baru perihal keberadaan Ustano Basa Pagaruyung tersebut.
Kegiatan tersebut sengaja dilaksanakan dalam rangka kedatangan Pak Jusuf Kalla (Wakil Presiden) untuk peletakan tonggak tuo ustano guna memulai pembangunan kembali. Di situ juga penulis baru tau keberadaan bangunan ustano sebagai aset yang berada dalam pengelolaan Pemda Provinsi.
Keberadaan Ustano Basa Pagaruyung di daerah Tanah Datar tentunya sangat membantu membangun citra Kabupaten Tanah Datar sebagai pusat kebudayaan Minangkabau.
Namun di sisi lain, selama mengamati perkembangan kebupaten Tanah Datar terkait platform sebagai daerah pusat kebudayaan hanya itu sajalah yang terkesan sangat diandalkan. Hal yang agak miris sebenarnya belum terlihat kebijakan daerah dan penganggaran daerah yang menjadikan pengembangan sektor budaya dan pariwisata sebagai prioritas.
Semua orang tau daerah ini juga banyak melahirkan tokoh sastra, seni dan budaya. Hal yang agak merisaukan sampai saat ini kabupaten Tanah Datar tidak memiliki gedung kebudayaan berstandar internasional yang bisa dijadikan salah satu daya tarik dan juga dalam rangka promosi seni dan budaya daerah bagi wisatawan mancanegara dan domestik.
Mengingat kondisi ini, sudah selayaknya pemerintah daerah saat ini atau yang ke depan nantinya betul-betul menentukan skema dan skala prioritas arah pembangunan Kabupaten Tanah Datar. Kalau memang penekanannya sektor pariwisata dan kebudayaan tentu seharusnya ada kebijakan yang memberikan prioritas pada sektor itu.
Skema itu tentu harus komprehensif dan terpadu dengan pengembangan pariwisata dan budaya di nagari-nagari dan bukan hanya di kawasan Batusangkar dan Pagaruyung semata. Perencanaan pengembangan sektor budaya dan pariwisata juga diharapkan berdampak terhadap perekonomian masyarakat secara merata.*