×

Iklan


Apakah Boleh Motor Kredit Macet Disita Tanpa Proses Pengadilan? Ini Kata OJK

06 Oktober 2021 | 15:16:39 WIB Last Updated 2021-10-06T15:16:39+00:00
    Share
iklan
Apakah Boleh Motor Kredit Macet Disita Tanpa Proses Pengadilan? Ini Kata OJK
Ilustrasi. NET

Padang, Khazminang.id-- Penarikan kendaraan yang dilakukan oleh debt collector masih menjadi polemik di masyarakat. Bahkan seringkali permasalahan penarikan kendaraan menjadi viral dan ramai diperbincangkan publik. Nah dari pada salah ngomong soal polemik ini, mending dipahami dulu aturannya.

Deputi Direktur Pengawasan Lembaga Pembiayaan 1, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Indra menjelaskan, penarikan kendaraan yang dilakukan oleh perusahaan pembiayaan melalui debt collector berkaitan dengan jaminan fidusia. Itu merupakan salah satu langkah mitigasi risiko yang dilakukan perusahaan pembiayaan.

"Dalam POJK ada satu ketentuan mengatur mitigasi risiko. Jadi ada pilihan bagi perusahaan wajib melakukan mitigasi risiko, boleh melakukan dengan jaminan fidusia, boleh dengan asuransi kredit, boleh dengan penjaminan kredit. Jadi sifatnya pilihan bukan mandatory," terangnya dalam acara webinar, Rabu (6/10/2021).

    Perusahaan pembiayaan bisa memilih mitigasi risiko yang akan dilakukan. Dengan begitu, artinya tidak melulu pembiayaan selalu menggunakan jaminan hak fidusia.

    Nah jika perusahaan pembiayaan alias leasing menggunakan perjanjian jaminan hak fidusia dengan debiturnya, maka wajib dicantumkan dalam kontrak pembiayaan. Artinya debitur seharusnya mengetahui jika dilakukan penjaminan hak fidusia karena tertuang dalam perjanjian yang ditandatangani kedua belah pihak.

    "Dalam POJK sudah diatur klausula yang wajib dimuat dalam perjanjian para pihak. Artinya sudah ada hubungan keperdataan. Di sana juga dicantumkan pembiayaan berapa, tenornya berapa lama, angsurannya berapa besar, dan kontrak ini tentu ditandatangani oleh para pihak," terangnya.

    Oleh karena itu, jika ingin mengajukan pembiayaan ke leasing, dihimbau untuk membaca dengan seksama kontrak perjanjiannya. Sebab menurut Indra, seringkali ketika terjadi wanprestasi atau cidera janji, debitur lupa bahwa dalam kontrak tersebut tertuang jaminan hak fidusianya.

    "Jadi sering muncul bahwa pada saat di ujung, debitur lupa apa yang sudah diperjanjikan di awal. Jadi harus dicermati hak dan kewajiban yang harus dilakukan, baik perusahaan pembiayaan maupun debitur. Sehingga apabila masing-masing pihak menjalankan hak dan kewajiban. Seharusnya ini tidak jadi isu di belakang hari," terangnya.

    Bagaimana bila kendaraan kredit tersebut tak dijadikan sebagai jaminan fidusia? Buka ketentauannya di halaman selanjutnya.

    Nah jika ternyata dalam kontrak perjanjian awal tidak dicantumkan penjaminan hak fidusia, maka perusahaan pembiayaan tidak boleh melakukan eksekusi seperti penarikan kendaraan menggunakan debt collector. Proses penyelesaiannya wajib dilakukan melalui pengadilan.

    "Pada saat perusahaan pembiayaan memutuskan bahwa pembiayaan ini tidak akan dibebani jaminan fidusia, maka saat debitur terjadi wanprestasi, tidak boleh melakukan eksekusi seperti halnya kewenangan hak eksekutorial yang melekat pada jaminan fidusia. Karena tidak diperjanjikan bahwa ini dibebani jaminan fidusia. Maka kalau debitur wanprestasi, prosesnya mengikuti kewenangan hukum," tuturnya.

    Indra juga menerangkan, untuk jaminan hak fidusia juga tidak sembarangan. Perusahaan pembiayaan wajib mendaftarkan perjanjian hak jaminan fidusia itu ke Kemenkumham paling lambat 30 hari sejak tanggal perjanjian.

    "Jadi tidak bisa apabila di dalam kontrak dicantumkan dibebani fidusia, kemudian perusahaan pembiayaan tidak melakukan pendaftaran ke Kumham, maka ini tidak sah jaminan fidusianya. Karena tidak disertai dengan akan terbitnya sertifikat jaminan fidusia," tambahnya. (ojk/dtc)