×

Iklan


Ade Armando, Pion yang Kehilangan Jati Diri

12 Juni 2020 | 13:38:10 WIB Last Updated 2020-06-12T13:38:10+00:00
    Share
iklan
Ade Armando, Pion yang Kehilangan Jati Diri

Oleh: DIRWAN AHMAD DARWIS

Domino merupakan permainan khas yang sangat mengasyikkan bagi orang Minangkabau, sambil bercerita, ketawa-ketiwi, saling ledek-ledekan dalam senda gurau, para pencandu domino bahkan bisa tahan duduk lama-lamadari sore hingga esok pagi, begitu benarlah asyiknya permaian itu. Tapidalam kehidupan orang Minangkabau dewasa ini,mereka nampaknya bukan lagi sebagai pemain, tapi sudah berubahmenjadi seperti batu domino yang mudah dimainkan, dikacau atau dikocok untuk kesekian kalinya oleh para pemain yang ketawa-ketiwi melihat gelagat dan “kurenah” mainannya. Adakah benar orang Minangkabau yang dulu dikenal sebagai pemain, sekarang berubah jadi batu domino, benda mati yang dihempas-hempaskan dan diadu sesama sendiri? Jawabannya tentu akan beragam, tergantung sudut pandang dan kepentingan masing-masing. Karena di zaman “devide et impera” jilid dua sekarang ini,kebenaran itu sangat mahal, kepentingan justru sangat berperan dalam menentukan jawaban maupun sikap seseorang.

Beberapa waktu yang lalu, ketika heboh Arteria Dahlan (AD), saya menulis “Arteria Dahlan, antara adab, ilmu dan pusaran zaman”. Arteria kala itu menghebohkan orang Minangkabau karena sikapnya yang kurang adab terhadap sesepuh Minangkabau Emil Salim. Lantas, ketika menulis artikel ini, perasaan saya tidak jauh beda dalam melihat AD dulu maupun Ade Armando (AA), cuma beda kasus saja, dan dikabarkan pula keduanya keturunan Minangkabau, entah lah, saya ndak terlalu menghiraukannya.

    Dari hasil penelitian, akhirnya saya membagi orang Minangkabau itu menjadi tiga kelompok.Di zaman kerumuk tumuk ini, pengelompokan itu penting untuk membedakan dan memetakan Minangkabau yang kini sedang dilanda perubahan sosial, yang menimbulkan berbagaikrisis.Pertama; orang Minangkabau asli,yaitu yang masih mengamalkan budaya dan bahasa Minangkabau, bangga jadi orang Minangkabau, dan itu tercermin dalam prilakunya. Kedua; Minangkabau hanyuik atau tagadai, ini kelompok yang paham, paling tidak tau budaya maupun bahasanya, tapi malu dan kurang percaya diri dengan jati dirinya, ia hanyut dan tergadai dalam eforia modernisasi dan globalisasi. Tapi, kalau hanyut masih bisa dipintas, kalau tergadai masih bisa ditebusi, artinya masih bisa diselamatkan. Ketiga; Minangkabau tajua, yang terjual ini memang parah, secara pemikiran dan prilaku memang bukan lagi berciri Minangkabau, susah untuk diselamatkan,pikirannya sudah beku, dan AA maupun AD bagi saya ada dalam kelompok ini. Jadi bagaimana sikap kita terhadap orang-orang Minangkabau tajuaini?Bagi saya kalau dia tidak mengganggu biarkan saja. Tapi kalau dia mengganggu dan membahayakan kita, itu wajib ditanggapi, tidak mungkindidiamkan begitu saja. Jadi kalau sekarang ada riak dari orang Minangkabau, itu bisa dipahami, untuk menampakkan lurah masih babatu, ijuak masih basaga.

    Masalahnya,kita orang Minangkabau ini sekarang angek-angek cirik ayam, hanya sekadar heboh musiman begitu saja. Terkait cuitan AA soal injil berbahasa Minangkabau yang membuat orang Minangkabau memburansang lagi,itu biasanya hanya sebentar, lihatlah nanti, setelah itu kita lupa lagi, dan kehidupan akan kembali berjalan seperti biasa. Mahathir Mohammaddari Malaysia bilang “Melayu mudah lupa”, bukankah kita di Minangkabau ini juga bahagian dari ras Melayu.Sebahagian kita tentu masih ingat kasus pemurtadan Khairiah Enniswah (Wawah) 1998, tak lama kemudian diam begitu saja, orang Minangkabau pun kini sudah lupa. Kita tak pernah berpikir, kalau terjadi lagi kasus yang sama, apa tindakan kita?Apa penangkal yang harus sediakan? Jika pemerintah dan wakil rakyat tidak mampu melahirkan penangkal dalam bentuk undang-undang, apa bentuk benteng lain sebagai pagar diri, mungkin kesepakatan bersama antar organisasi terkait misalnya?Contoh lain, hasil survey 2016 menyatakan bahwa di pulau Sumatera Sumbar adalahprovinsi dengan angka pertumbuhan Kristen terbesar kedua (7%) setelah Riau(8%) pertahun (Republika, Senin 08 Aug 2016), itu berita empat tahun yang lalu, dan sampai sekarang kita diam-diam aja. Sedangkan mereka tak pernah diam, terus tumbuh dan berkembang, tak lama lagi mungkin ABS-SBK akan dipertanyakan, yang akan mempertanyakan bukan mereka, tapi anak kemenakan kita yang sudah masuk lukah mereka itu.

    Kenapa hal ini terjadi, karena ada peranan dua lapis orang-orang terdidik dalam masyarakat Indonesia sekarang yang tidak seimbang, Minangkabau hanya kecipratan sialnya, yakni lapisan atas yang kelihatan, dan lapisan bawah yang terlindung. Lapisan atasadalah peranan dan gerakan para intelektual yangada di tengah masyarakat, ada di pemerintahan dan di lembaga perwakilan, yang menjelma dalam produk-produk hukum dan sumbangan pemikiran lainnya.Lalu, dilapisan bawah itu memang cenderung tidak kelihatan, karena bersifat “manfaatilmu”, tapi berfungsi sebagai penggerak utama, yang sangat berpengaruh terhadap pemikiran dan tindakan seseorang, yang bisa dirasakan dan jelas berdampak oleh masyarakat, yang membuat mereka dihargai.

    Idealnya pendekatan ilmu itu ada tiga, yakni: hablum minallah, hamblum minannas dan hamblum minal a’lamiin. Umumnya ilmu-ilmu (lapisan bawah) yang ada dan dikembangkan di negeri ini sekarang tidak mengakar secara kemanusiaan, karena lebih cenderung ke pengetahuan alam (hablum minal alamin/IPA) yang dikuasai oleh Barat. Sedangkan pemikiran masyarakat digiring agar tidak menyukai hamblum minannas (IPS) dengan alasan-alasan tertentu yang sudah dirancang sedemikian rupa. Pada hal di sana kekuatan kitasebagai alat pemersatu bangsa, sekarang bagaimana mau bersatu, alatnya sudah kita buang. Contohnya soal sejarah, kini dilihat dari kacamata yang berbeda-beda, yang tidak punya latar belakang sejarah, yang hanya comot sana sini bersuara keras, yang mengalami peristiwa sejarah dan belajar sejarah kalah suara.

    Lalu, institusi pendidikan Islam yang khusus untuk hamblum minallah, umumnya terbelenggu imperialisme Barat,mulai dari teori sampai ke metodologi, hasil akhirproduknya juga hampir sama, karena  juga ikut sama-sama meminggirkan IPS. Oleh sebab itu, penyandingan konsep ABS-SBK di Minangkabau sebenarnya sudah hampir mendekati sempurna, tetapi dipesongkan oleh tangan-tangan tersembunyi, kita dimainkan lagi.Ketidak-seimbangan ilmu (IPA dan IPS) menyebabkan ketidak-seimbangan hidup dalam masyarakat. Orang Indonesiamemandang rendah IPS, akibatnya generasi muda tidak peduli makna dan pentingnya mengetahui sejarah, budaya dan bahasa, yang semuanya ada dalam IPS. Ketiganya adalah inti dalam pembentukan jati diri, bahkan kata “jati diri” itu sendiri pun hari ini sudah mulai kabur dan sudah jarang kedengaran, pada hal di situlah kunci kesinambungan keberadaan sebuah suku/etnis/bangsa.

    Almarhum Pramoedya Ananta Toer mengatakan bahwa “intelektual” itu adalah suatu kelompok orang yang menempatkan nalar (pertimbangan akal) sebagai kemampuan pertama dan utama, yang mampu melihat tujuan akhir dari upaya manusia dalam memahami sebuah kebenaran. Intelektual adalah hati nurani bangsa, dalam dirinya terdapat segudang ilmu dan pengetahuan, terutama pengalaman bangsanya. Dengan isi gudangnya itu, ia dapat memilih yang terbaik untuk dikembangkan, memiliki dasar dan alasan yang kuat untuk bersikap tegas dalam memutuskan sesuatu hal, apakah menerima atau menolak. Intelektual Indonesia yang terlepas hubungannya dengan bangsanya, dan tidak lagi melihat Barat dari apa yang sudah dilakukannya sebagai produk sejarah, maka mereka akan kehilangan sebahagian dari kemampuan nalar objektifnya. Karena tanpa sadar mereka akan terlepas dari ikatan sejarah, serta ikatan pengalamannya sendiri.Lalu, adakah intelektual Minangkabau sekarang masih berperan, atau perlu dibagi tiga juga?

    Di Minangkabau ini, ada falsafah “duduak surang basampik-sampik, duduak basamo balapang-lapang”, yang merupakan kata-kata bijak para penghulu adat, yang kini masih terdengar, tapi hanya sebatas di bibir saja. Contohnya, lihatlah LKAAM dan MTKAAM yang isinya tokoh-tokoh adat, terlepas dari sejarah pendirian masing-masing,seharusnya keduanya bekerjasama bukan gontok-gontokan.Kalau dulu LKAAM sendiri, lalu muncul MTKAAM, sepatutnya disyukuri,karena sudah berdua, di sanalah letaknya duduak surang basampik-sampik, duduak basamo balapang-lapang itu.

    Saya dengar tidak lama lagi akan muncul MAMAK (Majelis Tinggi Masyarakat Adat Minangkabau), apapun bentuk organisasi MAMAK ini nantinya, LKAAM dan MTKAAM harus menerima dan mensyukuri sebagai pengejawantahan dari kalimat duduak surang basampik-sampik diatas. Jangan lagi dilihat sebagai saingan, harus dilihat sebagai saudara baru dalam perjuangan, dan MAMAK pula sebagai pendatang baru, yang menurut kabarnya kebanyakan terdiri dari para intelektual, jangan petantang petenteng, harus menggandeng organisasi-organisasi yang sudah ada sebagai saudara seperjuangan dalam menyelamatkan Minangkabau ini. Sekali MAMAK salah langkah, bersaing, mengungkit kesalahan-kesalahan pihak lain, selesailah sudah, akan sama saja dengan yang lain. Akhirnya, kami yang rakyat badarai ini juga yang akan semakin sansai dan marasai. Oleh karena itu, kedepan kalau Minangkabau ingin bertahan, paradigma saling curiga dan bacakak ini perlu dirobah, karena seperti kata Pramoedya, “intelektual” itu adalah suatu kelompok orang yang menempatkan nalar atau pertimbangan akal lebih dahulu.

    Lantas, bagaimana dengan AA? Dia tidak perlu terlalu dihiraukan, dia hanya seorang “pion’ yang kehilangan jati diri, seseorang yang sudah terjual secara kebudayaan, tidak paham sejarah dan bahasa Minangkabau, sebab itu lah kata-katanya tidak berbandrol. Oleh sang dalang, AA ini hanya ibarat bunga teratai penghias kolam, terpakai karena bukan intelektual, dia hanya seorang akademisi sesuai jalur ilmunya. Jadi, hari ini kita jangan lagi menganggap, titel akademis itu pertanda seorang intelektual, jangan langsung menganggap seorang sarjana lulusan perguruan tinggi Islam sebagai orang yang kata-katanya bisa langsung dipercaya, bukan tidak mungkin kualitas dan pola pikirnya sama dengan AA itu, karena pengaruh imperialisme Barat itu.

    Minangkabau ini dulu pernah melahirkan orang-orang hebat, benar-benar hebat, bacalah sejarah, dan mereka hasil dari produk budaya. Jadi sekali lagi, marilah kembali membaca sejarah, karena itu akan menyatukan kita yang secara pemikiran sudah hampir tercerai berai ini. Mari kita kembali berbudaya dan berbahasa, karena itu akan mengembalikan peradaban kita, dan di sanalah akan kokohnyaABS-SBK. Kita harus sadar dan berhenti jadi batu domino, yang dihempaskan, diadu dan ditertawakan. Minangkabau harus diselamatkan dan dikembalikan ke posisinya, agar kembali jadi pemain. Kuncinya; perkuat jati diri generasi, caranya baca sejarah,pelajari budaya dan makna bahasa, karena dalam bahasa itu ada nilai. Jaga mulut dan kesantunan, jangan seperti AA! Terima kasih.


    Baca juga: Minang Marentak!