Domino
merupakan permainan khas yang sangat mengasyikkan bagi orang Minangkabau,
sambil bercerita, ketawa-ketiwi, saling ledek-ledekan dalam senda gurau, para pencandu
domino bahkan bisa tahan duduk lama-lamadari sore hingga esok pagi, begitu
benarlah asyiknya permaian itu. Tapidalam kehidupan orang Minangkabau dewasa
ini,mereka nampaknya bukan lagi sebagai pemain, tapi sudah berubahmenjadi seperti
batu domino yang mudah dimainkan, dikacau atau dikocok untuk kesekian kalinya
oleh para pemain yang ketawa-ketiwi melihat gelagat dan “kurenah” mainannya. Adakah
benar orang Minangkabau yang dulu dikenal sebagai pemain, sekarang berubah jadi
batu domino, benda mati yang dihempas-hempaskan dan diadu sesama sendiri? Jawabannya
tentu akan beragam, tergantung sudut pandang dan kepentingan masing-masing. Karena
di zaman “devide et impera” jilid dua sekarang ini,kebenaran itu sangat mahal, kepentingan
justru sangat berperan dalam menentukan jawaban maupun sikap seseorang.
Beberapa
waktu yang lalu, ketika heboh Arteria Dahlan (AD), saya menulis “Arteria Dahlan, antara adab, ilmu dan
pusaran zaman”. Arteria kala itu menghebohkan orang Minangkabau karena
sikapnya yang kurang adab terhadap sesepuh Minangkabau Emil Salim. Lantas,
ketika menulis artikel ini, perasaan saya tidak jauh beda dalam melihat AD dulu
maupun Ade Armando (AA), cuma beda kasus saja, dan dikabarkan pula keduanya
keturunan Minangkabau, entah lah, saya ndak terlalu menghiraukannya.
Dari
hasil penelitian, akhirnya saya membagi orang Minangkabau itu menjadi tiga
kelompok.Di zaman kerumuk tumuk ini, pengelompokan itu penting untuk membedakan
dan memetakan Minangkabau yang kini sedang dilanda perubahan sosial, yang menimbulkan
berbagaikrisis.Pertama; orang Minangkabau
asli,yaitu yang masih mengamalkan budaya dan bahasa Minangkabau, bangga jadi
orang Minangkabau, dan itu tercermin dalam prilakunya. Kedua; Minangkabau hanyuik
atau tagadai, ini kelompok yang paham,
paling tidak tau budaya maupun bahasanya, tapi malu dan kurang percaya diri dengan
jati dirinya, ia hanyut dan tergadai dalam eforia modernisasi dan globalisasi.
Tapi, kalau hanyut masih bisa dipintas, kalau tergadai masih bisa ditebusi,
artinya masih bisa diselamatkan. Ketiga;
Minangkabau tajua, yang terjual ini
memang parah, secara pemikiran dan prilaku memang bukan lagi berciri
Minangkabau, susah untuk diselamatkan,pikirannya sudah beku, dan AA maupun AD
bagi saya ada dalam kelompok ini. Jadi bagaimana sikap kita terhadap
orang-orang Minangkabau tajuaini?Bagi
saya kalau dia tidak mengganggu biarkan saja. Tapi kalau dia mengganggu dan
membahayakan kita, itu wajib ditanggapi, tidak mungkindidiamkan begitu saja.
Jadi kalau sekarang ada riak dari orang Minangkabau, itu bisa dipahami, untuk menampakkan
lurah masih babatu, ijuak masih basaga.
Masalahnya,kita
orang Minangkabau ini sekarang angek-angek cirik ayam, hanya sekadar heboh
musiman begitu saja. Terkait cuitan AA soal injil berbahasa Minangkabau yang membuat
orang Minangkabau memburansang lagi,itu biasanya hanya sebentar, lihatlah nanti,
setelah itu kita lupa lagi, dan kehidupan akan kembali berjalan seperti biasa.
Mahathir Mohammaddari Malaysia bilang “Melayu mudah lupa”, bukankah kita di
Minangkabau ini juga bahagian dari ras Melayu.Sebahagian kita tentu masih ingat
kasus pemurtadan Khairiah Enniswah (Wawah) 1998, tak lama kemudian diam begitu
saja, orang Minangkabau pun kini sudah lupa. Kita tak pernah berpikir, kalau
terjadi lagi kasus yang sama, apa tindakan kita?Apa penangkal yang harus sediakan?
Jika pemerintah dan wakil rakyat tidak mampu melahirkan penangkal dalam bentuk undang-undang,
apa bentuk benteng lain sebagai pagar diri, mungkin kesepakatan bersama antar
organisasi terkait misalnya?Contoh lain, hasil survey 2016 menyatakan bahwa di
pulau Sumatera Sumbar adalahprovinsi dengan angka pertumbuhan Kristen terbesar kedua
(7%) setelah Riau(8%) pertahun (Republika, Senin 08 Aug 2016), itu berita empat
tahun yang lalu, dan sampai sekarang kita diam-diam aja. Sedangkan mereka tak
pernah diam, terus tumbuh dan berkembang, tak lama lagi mungkin ABS-SBK akan
dipertanyakan, yang akan mempertanyakan bukan mereka, tapi anak kemenakan kita
yang sudah masuk lukah mereka itu.
Kenapa
hal ini terjadi, karena ada peranan dua lapis orang-orang terdidik dalam
masyarakat Indonesia sekarang yang tidak seimbang, Minangkabau hanya kecipratan
sialnya, yakni lapisan atas yang kelihatan, dan lapisan bawah yang terlindung.
Lapisan atasadalah peranan dan gerakan para intelektual yangada di tengah
masyarakat, ada di pemerintahan dan di lembaga perwakilan, yang menjelma dalam
produk-produk hukum dan sumbangan pemikiran lainnya.Lalu, dilapisan bawah itu
memang cenderung tidak kelihatan, karena bersifat “manfaatilmu”, tapi berfungsi
sebagai penggerak utama, yang sangat berpengaruh terhadap pemikiran dan
tindakan seseorang, yang bisa dirasakan dan jelas berdampak oleh masyarakat,
yang membuat mereka dihargai.
Idealnya
pendekatan ilmu itu ada tiga, yakni: hablum
minallah, hamblum minannas dan
hamblum minal a’lamiin. Umumnya ilmu-ilmu (lapisan bawah) yang ada dan
dikembangkan di negeri ini sekarang tidak mengakar secara kemanusiaan, karena
lebih cenderung ke pengetahuan alam (hablum minal alamin/IPA) yang dikuasai
oleh Barat. Sedangkan pemikiran masyarakat digiring agar tidak menyukai hamblum
minannas (IPS) dengan alasan-alasan tertentu yang sudah dirancang sedemikian
rupa. Pada hal di sana kekuatan kitasebagai alat pemersatu bangsa, sekarang
bagaimana mau bersatu, alatnya sudah kita buang. Contohnya soal sejarah, kini
dilihat dari kacamata yang berbeda-beda, yang tidak punya latar belakang
sejarah, yang hanya comot sana sini bersuara keras, yang mengalami peristiwa
sejarah dan belajar sejarah kalah suara.
Lalu,
institusi pendidikan Islam yang khusus untuk hamblum minallah, umumnya
terbelenggu imperialisme Barat,mulai dari teori sampai ke metodologi, hasil
akhirproduknya juga hampir sama, karena
juga ikut sama-sama meminggirkan IPS. Oleh sebab itu, penyandingan
konsep ABS-SBK di Minangkabau sebenarnya sudah hampir mendekati sempurna,
tetapi dipesongkan oleh tangan-tangan tersembunyi, kita dimainkan lagi.Ketidak-seimbangan
ilmu (IPA dan IPS) menyebabkan ketidak-seimbangan hidup dalam masyarakat. Orang
Indonesiamemandang rendah IPS, akibatnya generasi muda tidak peduli makna dan
pentingnya mengetahui sejarah, budaya dan bahasa, yang semuanya ada dalam IPS.
Ketiganya adalah inti dalam pembentukan jati diri, bahkan kata “jati diri” itu
sendiri pun hari ini sudah mulai kabur dan sudah jarang kedengaran, pada hal di
situlah kunci kesinambungan keberadaan sebuah suku/etnis/bangsa.
Almarhum
Pramoedya Ananta Toer mengatakan bahwa “intelektual” itu adalah suatu kelompok
orang yang menempatkan nalar (pertimbangan akal) sebagai kemampuan pertama dan
utama, yang mampu melihat tujuan akhir dari upaya manusia dalam memahami sebuah
kebenaran. Intelektual adalah hati nurani bangsa, dalam dirinya terdapat
segudang ilmu dan pengetahuan, terutama pengalaman bangsanya. Dengan isi
gudangnya itu, ia dapat memilih yang terbaik untuk dikembangkan, memiliki dasar
dan alasan yang kuat untuk bersikap tegas dalam memutuskan sesuatu hal, apakah
menerima atau menolak. Intelektual Indonesia yang terlepas hubungannya dengan
bangsanya, dan tidak lagi melihat Barat dari apa yang sudah dilakukannya sebagai
produk sejarah, maka mereka akan kehilangan sebahagian dari kemampuan nalar
objektifnya. Karena tanpa sadar mereka akan terlepas dari ikatan sejarah, serta
ikatan pengalamannya sendiri.Lalu, adakah intelektual Minangkabau sekarang masih
berperan, atau perlu dibagi tiga juga?
Di
Minangkabau ini, ada falsafah “duduak
surang basampik-sampik, duduak basamo balapang-lapang”, yang merupakan kata-kata
bijak para penghulu adat, yang kini masih terdengar, tapi hanya sebatas di bibir
saja. Contohnya, lihatlah LKAAM dan MTKAAM yang isinya tokoh-tokoh adat,
terlepas dari sejarah pendirian masing-masing,seharusnya keduanya bekerjasama
bukan gontok-gontokan.Kalau dulu LKAAM sendiri, lalu muncul MTKAAM, sepatutnya disyukuri,karena
sudah berdua, di sanalah letaknya duduak surang basampik-sampik, duduak basamo
balapang-lapang itu.
Saya
dengar tidak lama lagi akan muncul MAMAK (Majelis Tinggi Masyarakat Adat
Minangkabau), apapun bentuk organisasi MAMAK ini nantinya, LKAAM dan MTKAAM
harus menerima dan mensyukuri sebagai pengejawantahan dari kalimat duduak
surang basampik-sampik diatas. Jangan lagi dilihat sebagai saingan, harus
dilihat sebagai saudara baru dalam perjuangan, dan MAMAK pula sebagai pendatang
baru, yang menurut kabarnya kebanyakan terdiri dari para intelektual, jangan
petantang petenteng, harus menggandeng organisasi-organisasi yang sudah ada
sebagai saudara seperjuangan dalam menyelamatkan Minangkabau ini. Sekali MAMAK
salah langkah, bersaing, mengungkit kesalahan-kesalahan pihak lain, selesailah
sudah, akan sama saja dengan yang lain. Akhirnya, kami yang rakyat badarai ini
juga yang akan semakin sansai dan marasai. Oleh karena itu, kedepan kalau
Minangkabau ingin bertahan, paradigma saling curiga dan bacakak ini perlu
dirobah, karena seperti kata Pramoedya, “intelektual” itu adalah suatu kelompok
orang yang menempatkan nalar atau pertimbangan akal lebih dahulu.
Lantas,
bagaimana dengan AA? Dia tidak perlu terlalu dihiraukan, dia hanya seorang
“pion’ yang kehilangan jati diri, seseorang yang sudah terjual secara
kebudayaan, tidak paham sejarah dan bahasa Minangkabau, sebab itu lah kata-katanya
tidak berbandrol. Oleh sang dalang, AA ini hanya ibarat bunga teratai penghias
kolam, terpakai karena bukan intelektual, dia hanya seorang akademisi sesuai
jalur ilmunya. Jadi, hari ini kita jangan lagi menganggap, titel akademis itu
pertanda seorang intelektual, jangan langsung menganggap seorang sarjana lulusan
perguruan tinggi Islam sebagai orang yang kata-katanya bisa langsung dipercaya,
bukan tidak mungkin kualitas dan pola pikirnya sama dengan AA itu, karena pengaruh
imperialisme Barat itu.
Minangkabau ini dulu pernah melahirkan orang-orang hebat, benar-benar hebat, bacalah sejarah, dan mereka hasil dari produk budaya. Jadi sekali lagi, marilah kembali membaca sejarah, karena itu akan menyatukan kita yang secara pemikiran sudah hampir tercerai berai ini. Mari kita kembali berbudaya dan berbahasa, karena itu akan mengembalikan peradaban kita, dan di sanalah akan kokohnyaABS-SBK. Kita harus sadar dan berhenti jadi batu domino, yang dihempaskan, diadu dan ditertawakan. Minangkabau harus diselamatkan dan dikembalikan ke posisinya, agar kembali jadi pemain. Kuncinya; perkuat jati diri generasi, caranya baca sejarah,pelajari budaya dan makna bahasa, karena dalam bahasa itu ada nilai. Jaga mulut dan kesantunan, jangan seperti AA! Terima kasih.
Baca juga: Minang Marentak!